Minggu, 13 Desember 2009

PERMENKES NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004
TENTANG
PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN
PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN
MILIK PEMERINTAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan peningkatan mutu dan pemerataan
pelayanan kesehatan serta peningkatan efektifitas dan efisiensi
pendayagunaan tenaga kesehatan pada sarana pelayanan
kesehatan, dibutuhkan status tenaga kesehatan yang fleksibel;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pengadaan Tenaga
Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana Kesehatan Milik
Pemerintah;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3890 );
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3495) ;
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
5. Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara No 3938)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3637);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/ Per/XII/1986 tentang
Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik
10.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes /Per /IV/1988 tentang
Rumah Sakit ;
11.Keputusan Menteri Kesehatan No 1540/MENKES /SK/XII/2002 tentang
Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti dan Cara Lain.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan:
Pertama : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN PENGADAAN
TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA
KESEHATAN MILIK PEMERINTAH.
Kedua : Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana
Kesehatan Milik Pemerintah sebagaimana terlampir dalam lampiran Keputusan
ini.
Ketiga : Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum kedua dimaksudkan untuk
memberikan acuan bagi Gubernur, Bupati/ Walikota atau pimpinan sarana
kesehatan dalam melaksanakan pengadaan tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja pada sarana kesehatan milik pemerintah pusat atau
pemerintah daerah sesuai kewenangannya.
Keempat : Tenaga kesehatan yang dimaksud dalam keputusan ini adalah tenaga
kesehatan yang kedudukannya bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
Pegawai Tidak Tetap yang didayagunakan di sarana kesehatan milik
Pemerintah dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.
Kelima : Sarana kesehatan milik swasta dalam mengadakan perjanjian kerja dengan
tenaga kesehatan dapat mengacu pada ketentuan ini.
Keenam : Dengan diberlakukannya keputusan ini maka pimpinan sarana kesehatan yang
telah mempekerjakan tenaga kesehatan tidak tetap, honorer atau yang
dipersamakan harus menyesuaikan dengan keputusan ini setelah masa
perjanjian tersebut berakhir.

Ketujuh : Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
MENTERI KESEHATAN
DR. ACHMAD SUJUDI

Lampiran I
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004
Tanggal : 19 Oktober 2004
PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN
PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN
MILIK PEMERINTAH
1. PENDAHULUAN
Untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan dilakukan berbagai upaya
kesehatan yang didukung antara lain sumberdaya tenaga kesehatan yang memadai
dan merata sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan.
Kebijakan pengadaan pegawai mengalami perubahan yang mendasar dengan
dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pemerintahan
Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang ini maka kewenangan pengangkatan
pegawai daerah merupakan kewenangan Pemerintah Daerah masing-masing.
Pengangkatan pegawai termasuk tenaga kesehatan di Pusat dan Daerah juga
terdapat keterbatasan, disisi lain tenaga kesehatan khususnya tenaga medis dan
tenaga keperawatan sangat dibutuhkan di sarana kesehatan tersebut sehingga untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut untuk jangka waktu tertentu
diperlukan tenaga kesehatan di luar jalur PNS yaitu melalui pengadaan tenaga
kesehatan dengan perjanjian kerja sehingga diperoleh tenaga kesehatan sesuai
kebutuhan. Perjanjian kerja ini dapat memberi peluang bagi Pemerintah
Daerah/pimpinan sarana kesehatan dalam mengadakan tenaga kesehatan tertentu
yang akan dikaryakan sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan pedoman perjanjian kerja antara
tenaga kesehatan dengan pemberi kerja.
2. TUJUAN
Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan bagi Gubernur, Bupati/Walikota atau
pimpinan sarana kesehatan dalam upaya pengadaan tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja di sarana kesehatan milik Pemerintah untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan. Sarana kesehatan milik swasta yang mendayagunakan tenaga kesehatan
dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu dapat mengacu pada pedoman ini.
3. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan :
a. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggrakan
upaya kesehatan;

b. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian kerja antara tenaga kesehatan
dengan pimpinan sarana kesehatan secara tertulis, dalam waktu tertentu yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
c. Pemberi kerja adalah pimpinan sarana kesehatan atau pejabat yang
berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
d. Tenaga kesehatan adalah tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang
berkedudukan bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap,
yang untuk jenis tertentu harus memiliki surat izin praktik/surat izin kerja.
4. JENIS PERJANJIAN KERJA
Jenis perjanjian kerja dibedakan berdasarkan pada :
a. Jumlah tenaga kesehatan yang di kontrak
1) Perjanjian Kerja Perorangan
Perjanjian kerja perorangan, merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara
pemberi kerja dengan seorang tenaga kesehatan
2) Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian kerja bersama merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara
pemberi kerja dengan beberapa tenaga kesehatan sebagai suatu Tim Kerja
yang bergerak di bidang kesehatan untuk angka waktu tertentu.
b. Jenis pekerjaan
1) Paket pelayanan.
Adalah Perjanjian kerja yang bertujuan untuk menyelesaikan sejumlah beban
kerja tertentu, misalnya pelayanan imunisasi pada daerah tertentu.
2) Prestasi .
Adalah Perjanjian kerja yang didasarkan pada prestasi (target) yang dicapai.
Apabila prestasi melampaui target pelayanan maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat memperoleh insentif sesuai yang diperja njikan.
c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu .
1) Jangka waktu perjanjian kerja untuk tenaga kesehatan tertentu yang memiliki
surat izin praktik sementara paling lama 18 bulan.
2) Sedang untuk tenaga kesehatan tertentu yang telah memiliki surat izin praktik,
jangka waktu perjanjian kerja paling lama 2(dua tahun.
3) Perpanjangan perjanjian kerja tenaga kesehatan dimaksud butir 2), hanya
boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu )tahun
dengan ketentuan jumlah seluruh Perjanjian kerja tidak boleh lebih dari tiga
tahun.
4) Perpanjangan perjanjian kerja dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari
sebelum perjanjian kerja berakhir.

5. POLA PERJANJIAN KERJA
a. Judul ( Heading ) atau Nama Perjanjian
Judul perjanjian sebaiknya singkat dan jelas.
b. Pembukaan ( Opening )
Pembukaan ini merupakan awal dari suatu akta.
c. Komparasi / Para Pihak ( Parties )
Komparasi merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para
pihak yang membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan
identitas serta tempat tinggal yang bersangkutan.
d. Premise ( Recitals ).
Premise atau recitals biasa dipergunakan sebagai pendahuluan (introduction) suatu
akta atau pengantar yang menunjukkan maksud utama dan para pihak, dan
menyertakan alasan mengapa suatu akta itu dibuat.
Premise disebut juga suatu pernyataan yang merupakan konsiderans
/pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir suatu perikatan. Penulisan
dalam akta biasanya secara baku dimulai dengan kata “bahwa”.
e. Isi Perjanjian
Isi perjanjian mencakup ketentuan dan persyaratan. Pada bagian ini para pihak
mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu, yang
merupakan kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis yang sah.
Sebagai pokok perjanjian maka diharapkan dapat mencakup dan mengandung
semua isi perjanjian sekaligus merupakan isi akta yang memuat secara mendetail
mengenai obyek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap
mengenai prestasi.
Mengenai isi perjanjian dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :
1) Unsur esensialia
Unsur esensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok
sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu
perjanjian, sehingga perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak
mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini memang
ditentukan dan harus ada oleh Undang-Undang karena bila tidak, maka
perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak mengikat. Dalam perjanjian kerja hal
yang merupakan esensialia adalah pekerjaan dan upah yang diberikan.
2) Unsur Naturalia
Unsur Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya
dicantumkan dalam perjanjian. Namun tanpa pencantuman syarat yang
dimaksud itu pun suatu perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu
perjanjian menjadi tidak mengikat.
3) Unsur Aksidentalia
Unsur Aksidentalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi
dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud
khusus sebagai suatu kepastian.

Hal ini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar “asas kebebasan
berkontrak” (freedom of contract), asalkan hal tersebut tidak bertentangan
dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
f. Klausula ( Clause )
Ada hal penting lain yang harus mendapat tempat dalam perjanjian ini. Hal-hal
penting yang dimaksudkan itu adalah mengenai berbagai klausula yang acapkali
juga muncul dan dimasukkan dalam merumuskan isi perjanjian, sekaligus
merupakan bagian yang patut memperoleh perhatian misal kausula force majeure
yang dimaksudkan sebagai langkah awal untuk melakukan antisipasi yang
ditempuh oleh para pihak yang membuat perjanjian terhadap kejadian yang
mungkin timbul dikemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksaan
perjanjian.
g. Penutup / Testimonium Clause (Closure)
Setiap perjanjian tertulis, selalu ditutup dengan kata atau kalimat yang
menyatakan bahwa perjanjain itu dibuat dakam jumlah atau rangkap yang
diperlukan dan bermaterai cukup, maksudnya telah memenuhi ketentuan yang
berlaku misalnya Rp. 6000,- (enam ribu rupiah) dan ditandatangani oleh para
pihak atau yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.
h. Tanda Tangan (Attestation)
Tanda tangan para pihak atau yang mewakili, dan tanda tangan saksi-saksi.
Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan perseorangan
melainkan badan hukum, maka dibawah tanda tangan juga disebutkan nama dan
jabatannya, dilengkapi dengan cap sarana kesehatan di sebelah tanda tangan.
i. Lampiran
Dalam surat perjanjian tidak jarang dan biasa disertai dengan Lampiran, apabila
terdapat hal-hal yang perlu disertakan atau dilekatkan pada perjanjian induk.
Lampiran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok atau
induk, yang mungkin bila dibuat dalam perjanjian pokok mengalami kesulitan
teknis atau memang sengaja dibuat secara terpisah misalnya seperti surat kuasa.
6. SYARAT PERJANJIAN KERJA
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang -undangan yang berlaku.
7. MATERI MUATAN PERJANJIAN KERJA
a. Nama dan alamat sarana kesehatan pemberi kerja
b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ tenaga kesehatan.
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan tenaga
kesehatan .
g. Besarnya gaji / upah dan cara pembayarannya
h. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
i. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
j. Ketetapan tanggal mulai berlaku dan berakhir serta ditandatangani oleh kedua
belah pihak.
k. Penyelesaian perselisihan.
8 . PENGADAAN
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan pelayanan
kesehatan yang prima perlu pertimbangan yang matang melalui prosedur yang
komprehensif dari proses analisis kebutuhan tenaga sampai kepada evaluasi
kinerjanya. Pertimbangan ini perlu dilakukan disamping untuk mendapatkan tenaga
yang sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasinya juga sebagai dasar dalam penetapan
butir-butir Perjanjian kerja.
Langkah-langkah pengadaan tenaga kesehatan dengan Perjanjian kerja:
a. melakukan pendataan tenaga yang dimiliki
b. melakukan analisis kebutuhan tenaga .
c. menetapkan jenis pekerjaan (spesifikasi)
d. menetapkan kebutuhan tenaga berdasarkan jenis dan kualifikasi yang diisusun
berdasarkan skala prioritas..
e. melaksanakan penyebar luasan informasi.
f. melakukan penjaringan peminatan sesuai dengan ketentuan persyaratan yang
diberlakukan antara lain seleksi administrasi, seleksi tertulis, wawancara dan
psikotest.
g. membuat pengumuman hasil seleksi.
h. membuat surat Perjanjian kerja .
9. HAK
a. Hak Pemberi kerja
1) pemberi kerja berhak memperoleh jasa dari tenaga kesehatan;
2) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak
memenuhi kewajibannya.
3) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak
memenuhi kewajibannya.
b. Hak Tenaga Kesehatan
1) memperoleh penghasilan/upah ;
2) memperoleh pengakuan pengalaman kerja sesuai dengan masa kerja;
3) memperoleh tunjangan transport, premi asuransi jiwa dan jaminan
pemeliharaan kesehatan sesuai peraturan yang berlaku di sarana kesehatan
tersebut;
4) memperoleh kesejahteraan/insentif yang ditetapkan oleh pimpinan. misalnya
jasa medik, lembur dan lain-lain;
5) memperoleh cuti yang ditetapkan oleh pimpinan :
a) cuti tahunan lamanya 12 hari kerja bagi tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja lebih dari satu tahun;

b) cuti hamil lamanya satu bulan sebelum melahirkan dan satu setengah
bulan setelah melahirkan bagi karyawati;
c) cuti sakit lamanya berdasarkan atas surat keterangan dokter;
d) selama menjalankan cuti hak-hak atas pengahasilan/upah tetap dibayar
sebagaimana mestinya.
6) menjalankan praktik di luar jam kerja sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
7) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pemberi kerja tidak
memenuhi kewajibannya.
10. KEWAJIBAN
a. Kewajiban Pemberi kerja
1) membayarkan penghasilan/upah dan kesejahteraan/insentif tenaga kesehatan
sesuai yang diperjanjikan;
2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) melaksanakan ketentuan waktu kerja/lembur sesuai peraturan perundangan
yang berlaku;
4) memenuhi dan menghormati hak-hak tenaga kesehatan .
b. Kewajiban Tenaga Kesehatan .
1) untuk tenaga kesehatan tertentu wajib memiliki surat ijin praktik sementara/ surat
ijin praktik/surat ijin kerja.
2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan perundangundangan
yang berlaku
3) melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya;
11. PEMBINAAN
a. Pembinaan adalah suatu kegiatan pemberian petunjuk tentang cara pelaksanaan
upaya sesuai dengan ketentuan dan bertujuan mendapatkan kesatuan tindak
untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. Kegiatan
pembinaan meliputi pengawasan, pengendalian dan penilaian. Pembinaan
terhadap tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja secara umum dilakukan oleh
organisasi profesi yang bersangkutan dimana tenaga tersebut bekerja.
b. Kegiatan pembinaan dalam tujuan peningkatan mutu, antara lain:
1) pendidikan berkelanjutan, seminar dan lokakarya;
2) pelatihan. penyuluhan hukum dan etika profesi;
3) keterampilan pengelolaan program.
c. Tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran disiplin dikenakan sanksi
berupa:
1) teguran lisan ;
2) teguran tertulis;
3) pemutusan hubungan kerja sebelum berakhirnya batas waktu perjanjian kerja.

d. Kepada tenaga kesehatan dilakukan penilaian kinerja setiap 3 (tiga) bulan sekali
yang dipergunakan sebagai pertimbangan pemberian penghargaan dan sanksi.
12. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
a. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pemberi kerja apabila tenaga
kesehatan :
1) Tidak sehat jasmani dan/atau rohani.
3) Melanggar disiplin berat.
4) Melakukan tindak pidana.
5) Meninggal dunia
6) Selesai masa perjanjian kerja.
7) Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan
dalam perjanjian kerja.
b. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan apabila pihak
pemberi kerja :
a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah
disepakati dalam perjanjian kerja.
2) Telah melakukan perbuatan yang tidak layak/baik terhadap tenaga kesehatan
tersebut.
2. Memberi tugas tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.
c. Apabila salah satu pihak memutuskan hubungan kerja secara sepihak sebelum batas
waktu perjanjian kerja berakhir sebelum batas waktu yang disepakati maka pihak
yang memutuskan hubungan kerja sepihak tersebut agar membayar ganti rugi
sesuai kesepakatan.
d. Apabila timbul perselisihan antara tenaga kesehatan dengan pemberi kerja akan
diselesaikan melalui :
a. Musyawarah antara pemberi kerja dengan tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
b. Apabila penyelesaian melalui musyawarah tidak dapat diselesaikan maka
diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
13. PENUTUP
Pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja disusun berdasarkan
kepentingan akan kebutuhan tenaga kesehatan di sarana kesehatan pemerintah yang
memuat acuan untuk memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menetapkan
kebijakan lebih lanjut dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.
MENTERI KESEHATAN
DR. ACHMAD SUJUDI

Lampiran II
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004
Tanggal : 19 Oktober 2004
MODEL PENYUSUNAN STRUKTUR GAJI TENAGA KESEHATAN
DENGAN PERJANJIAN KERJA
1. PENDAHULUAN
Tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja merupakan pendayagunaan tenaga
kesehatan oleh sarana kesehatan dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.
Kedudukannya bukan sebagai PNS maupun Pegawai Tidak Tetap. Oleh karenanya
pengaturan hak dan kewajibannya mengacu pada peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan termasuk penetapan struktur gaji dan upah. Model penyusunan
struktur gaji ini bertujuan memberikan pedoman dalam penyusunan struktur gaji dan
upah yang sistematik pada sarana kesehatan Pemerintah yang mendayagunakan tenaga
kesehatan dengan perjanjian kerja agar dapat menjadi acuan.
2. KRITERIA
Kriteria dalam penyusunan gaji/upah terdiri dari :
a. gaji/upah harus berkelayakan dalam arti penghasilan yang diterima mampu memenuhi
kebutuhan hidup;
b. gaji/upah harus berkeadilan dalam arti penghasilan yang diterima sesuai dengan
produk/jasa yang telah diberikan. Sedang produk seorang tenaga kesehatan
ditentukan oleh tingkat pendidikannya, pengalaman kerjanya, tanggung jawab dan
risiko pekerjaannya.
3. KEPENTINGAN PRAKTIS
Untuk kepentingan praktis,seperti halnya dalam penerimaan CPNS maka dalam
penyusunan gaji/upah ini, setiap tenaga kesehatan dipandang belum memiliki
pengalaman kerja. Sehingga apa yang ditetapkan disini sebenarnya adalah gaji pokok.
Untuk memberi penghargaan pada tenaga kesehatan yang ditempatkan dalam satu
jabatan teknis/fungsional, maka pada gaji pokok dapat diberikan tunjangan jabatan
fungsional. Sehingga penghasilan tenaga kersehatan terdiri dari : gaji pokok + tunjangan
jabatan + kesejahteraan, seperti uang transport, dan lain-lain.
4. KEBUTUHAN BIAYA HIDUP
Untuk memperoleh gambaran bagaimana selayaknya gaji pokok/upah dimasing-masing
tingkat jabatan maka perlu ditentukan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi
output seorang tenaga kesehatan yang terdiri dari tingkat pendidikan; pengalaman kerja,
tanggung jawab serta faktor risiko pekerjaan. Pada penyusunan gaji pokok ini
sebagaimana yang terdapat dilingkungan pengangkatan pertama CPNS, setiap orang
dianggap belum memiliki pengalaman kerja, dengan faktor risiko pekerjaan minimal
terkecuali bagi tenaga kesehatan yang ditempatkan didaerah terpencil akan diberikan
tunjangan pengabdian dan faktor tanggung jawab diejawantahkan dalam tunjangan
jabatan.

Dengan demikian faktor tingkat pendidikan yang menentukan besar kecilnya gaji pokok
tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja, seperti terdapat dilingkungan PNS
sebagaimana terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengangkatan pertama dalam golongan ruang pangkat PNS
Namun berbeda dengan PNS dalam penyusunan gaji pokok, disini jenjang
pendidikan diberi skoring seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2.
Skoring berdasarkan tingkat pendidikan.
No. Tingkat pendidikan Golongan Ruang Pangkat
1 SMU II/a
2 Akademi ( D3) II/b
3 Sarjana ( S1) III/a
4 S2/ Spesialis III/a
No Tingkat Pendidikan Skoring pada setiap tingkat
pendidikan
1 SMU 140
2 D2 150
3 D3 160
4 Sarjana ( S1 ) 170
5 Dr, Drg, Apoteker 180
6 Pasca Sarjana (S2) 190
7 Spesialis 200

5. GAJI POKOK
Tabel 3.
Gaji Pokok Masing -Masing Tingkat Pendidikan
6. TUNJANGAN
a. ..Tunjangan adalah tambahan penghasilan diluar gaji pokok sebagai akibat tenaga
kesehatan mengemban tanggung jawab atau menanggung risiko pekerjaan.
Berbeda dengan PNS pada gaji pokok tenaga Perjanjian kerja tidak diberikan
tunjangan keluarga, karena perhitungan UMR telah meliputi perhitungan kebutuhan
satu keluarga. Demikian pula pengalaman kerja yang dalam sistim PNS disebut
pengalaman kerja maka pada tenaga Perjanjian kerja penghargaan terhadap
pengalaman kerja diejawantahkan kedalam kenaikan gaji pokok setelah menanda
tangani kontrak yang kedua atau ketiga.
Besarnya tunjangan jabatan atau tunjangan pengabdian didaerah terpencil
setinggi- tingginya sama dengan besarnya gaji pokok. Jadi berbeda dengan
tunjangan jabatan PNS yang besarnya jauh lebih besar dari gaji pokok.
Tunjangan yang disarankan :
1) Tunjangan jabatan untuk setiap jabatan : 0,2 x Gaji Pokok *);
2) Tunjangan pengabdian untuk setiap jabatan :0,8 - 1 x Gaji Pokok.
*) Untuk memberikan tunjangan jabatan perlu ditetapkan jabatan-jabatan teknis/
fungsional yang manakah yang menerima tunjangan. Misalnya, tenaga teknis/
fungsional yang setingkat dengan SMU keatas.
Tunjangan kesejahteraan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja dapat berupa
tunjangan materiil berupa uang dan tunjangan non materiil ( berupa fasilitas ). Apabila
tunjangan materiil yang diberikan, maka tunjangan diberikan bersamaan dengan
pembayaran gaji, karena tunjangan tersebut bersifat tetap.
No Tingkat Pendidikan Gaji Pokok
1 SMU = 1,4 UMR
2 D2 = 1, 5 UMR
3 D3 = 1, 6 UMR
4 S1 = 1,70 UMR
5 Dr, Drg, Apoteker = 1,80 UMR
6 S2 = 1,90 UMR
7 Spesialis = 2.00 UMR

Sehingga penghasilan tenaga kesehatan terdiri dari :
Gaji Pokok + Tunjangan Jabatan/ Tunjangan Pengabdian + Tunjangan
Kesejahteraan.
7. PEMELIHARAAN KESEHATAN
Pemeliharaan kesehatan diintegrasikan kedalam tunjangan kesejahteraan apabila
tenaga kesehatan yang bersangkutan bukan peserta oleh asuransi kesehatan.
Disini, setiap terjadinya peristiwa sakit, tenaga kesehatan membayar sendiri biaya
pengobatannya. Sebaliknya apabila tenaga kesehatn tersebut. tidak sakit maka
pemberian tunjangan kesehatan tersebut merupakan keuntungan yang menjadi
milik tenaga kesehatan, diberikan setiap bulan bersamaan dengan pembayaran
gaji.
Namun demikian, untuk menghindari biaya kesehatan yang tinggi seyogyanya
tenaga kesehatan tersebut menjadi peserta asuransi kesehatan, pembayaran premi
asuransi dapat ditanggung oleh sarana kesehatan yang bersangkutan.
8. KERJA LEMBUR
Tenaga kesehatan berhak atas uang lembur apabila bekerja melampaui jam kerja
yang ditentukan. Besarnya uang lembur / jam dihitung dari gaji pokok dibagi 4 x 37,3
jam = gaji pokok / 149 jam.
Banyaknya jam lembur / bulan merupakan jumlah dari kerja lembur harian.
Ketentuan lembur dalam pasal 78 ayat(1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tetntang Ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas )jam dalam 1 (satu) minggu dan
harus dengan persetujuan yang bersangkutan.
9. INSENTIF
Insentif adalah pemberian imbalan pada tenaga kesehatan atas hasil kerja yang
melampaui rata-rata, dalam rangka meningkatkan output sarana kesehatan. Misalnya
jika secara rata-rata seorang tenaga kesehatan outputnya dalam 7 jam kerja =350
unit, maka ia dirangsang dengan memberikan insentif agar menghasilkan 400 unit.
Dengan demikian sistim insentif berbeda dengan kerja lembur. Penetapan insentif ini
tidak mudah karena sulit menetapkan parameternya. Insentif hanya diberikan pada
tenaga-tenaga tertentu yang termasuk dalam program insentif. Jadi berbeda
pengertiannya dengan insentif yang dikenal dilingkungan pegawai dimana setiap
orang memperoleh sejumlahuang tertentu yang tujuan utamanya untuk memperbaiki
kesejahteraan.
Kriteria pemberian insentif :
a. ada beban kerja yang harus segera diselesaikan, yang dituangkan dalam program
insentif untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka waktu.
b. ada parameter yang jelas;
c. tenaga kesehatan yang masuk program adalah orang-orang terpilih.
Besaran insentif tidak boleh melebih gaji pokok perbulan. Pembayaran insentif
dibayarkan diluar pembayaran gaji.

10. CONTOH PERHITUNGAN GAJITENAGA DENGAN PERJANJIAN KERJA
a. DAERAH REGIONAL DKI
PERAWAT
Seorang perawat, pendidikan setingkat SMU
UMR DKI = Rp. 426.250,-
1. Gaji pokok perawat : 1,4 x Rp. 426.250 = Rp. 596. 750,-
2. Tunjangan jabatan : 0,2 x Rp. 596.750 = Rp. 119. 350,-(+)
fungsional
3. PENGHASILAN : Rp. 716. 100,-
DOKTER
1. Gaji Pokok : 1,8 x Rp. 426.250 = Rp. 767.250,-
2. Tunjngan jabatan dokter : 0,2 x Rp. 767.250 = Rp. 153.450,-(+)
3. PENGHASILAN : Rp. 920. 700,-
BIDAN ( D2)
1. Gaji Pokok : 1,5 x Rp. 426. 250 = Rp. 639. 375,-
2. Tunjangan jab. Bidan : 0,2 x Rp. 639. 375 = Rp. 127. 875,- (+)
3. PENGHASILAN : Rp. 767.250,-
b. DAERAH TERPENCIL, KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU.
DOKTER
1. Gaji Pokok = Rp. 767.250,-
2. Tunjangan jabatan dokter : = Rp. 153.450,-
3. Tunjangan Pengabdian 0,8 x Rp 767.250,- = Rp. 613.800,- (+)
4. PENGHASILAN : Rp. 1.534.500,-

PERAWAT
1. Gaji Pokok : = Rp. 596. 750,-
2. Tunjangan jab. perawat : = Rp. 119. 350,-
3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 596.750 = Rp. 477.400,- (+)
4. PENGHASILAN : Rp. 1.193.500,-
BIDAN
1. Gaji Pokok = Rp. 639. 375,-
2. Tunjangan jab. bidan : = Rp. 127. 875,-
3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 639.375 = Rp. 511. 500,-(+)
4. PENGHASILAN : Rp. 1. 278.750,-
11. CONTOH PERHITUNGAN I GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL
DOKTER
Golongan III/a, 1 tahun masa kerja, keluarga : 1 istri/suami + 1 anak.
1. Gaji Pokok : = Rp. 760. 800,-
2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 760.800 = Rp. 91. 296,-
(+)
3. Gaji Kotor : Rp. 852. 096,-
4. Iuran wajib 10 % : 0,1 x Rp. 852. 096 = Rp. 85. 210,-
(-)
5. Gaji bersih : Rp. 766.886,-
6. Tunjangan tenaga kesehatan sarjana
Golongan III : Rp. 281.300,-
(+)
7. PENGHASILAN : Rp. 1.048. 186,-
PERAWAT
Perawat golongan II/a; Masa Kerja : 1 Tahun; Berkeluarga : 1 istri/suami+ 1 anak.
1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-
2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 628.409 = Rp. 75. 409,- (+)
3. Gaji Kotor : Rp. 703. 818,-
4. Iuran Wajib 10 % : 0,1 x Rp. 703.818 = Rp. 70. 382,-
(-)
5. Gaji Bersih : Rp. 633. 436,-
6. Tunjangan tenaga keperawatan Gol. II : Rp. 112. 500,-
(+)
7. PENGHASILAN : Rp. 745. 936,-

BIDAN ( D2 )
Bidan gol. II/a; Masa kerja : 1 tahun; Belum berkeluarga.
1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-
2. Iuran wajib : 0,1 x Rp. 628. 409 = Rp. 62. 841,-
(-)
3. Gaji bersih : Rp. 565. 568,-
4. Tunjangan tenaga keperawatan gol II : Rp. 112. 500,-
(+)
5. PENGHASILAN : Rp. 678. 068,-
Bagi PNS yang bekerja didaerah terpencil tidak ada tunjangan pengabdian, untuk
daerah terpencil, terkecuali di Propinsi Papua, atau dalam status PTT.
12. PENUTUP
1. Penyusunan struktur gaji tenaga kesehatan Perjanjian kerja menggunakan
metoda evaluasi jabatan, yakni suatu metoda yang memperbandingkan nilai-nilai
yang terdapat dalam jabatan. Untuk itu ditentukan terlebih dahulu faktor
jabatan yang akan diperbandingkan, seperti :
a. tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kesulitan pekerjaan yang
terdapat dalam jabatan;
b. pengalaman kerja;
c. tanggung jawab yang terdapat dalam jabatan;
d. risiko.
Dalam penyusunan gaji pokok faktor pengalaman kerja belum diperhitungkan
karena tenaga kesehatan yang didayagunakan belum memiliki pengalaman
kerja. Sedangkan faktor tanggung jawab dan risiko dimasukkan kedalam
tunjangan jabatan, yakni tambahan penghasilan karena menanggung beban
yang lebih besar.
2. Langkah berikutnya adalah memberi skoring setiap tingkat pendidikan, dengan
ketentuan bahwa setiap tiga tahun akan bernilai 20 ( dua puluh ).
Setelah skoring ditetapkan maka dihitung gaji pokok masing-masing kategori
tenaga dengan mengkalikan dengan UMR.
3. Besarnya penghasilan tenaga kesehatan dimasing-masing region (daerah)
tergantung dari tinggi rendahnya UMR. Tunjangan jabatan diberikan sebesar
% dari gaji pokok, sebagai penghargaan terhadap tanggung jawab tenaga
kesehatan.. Tunjangan pengabdian didaerah terpencil seperti Pulau Seribu
diberikan sebesar 80 % dari gaji pokok, karena daerah ini tidak terlalu jauh dari
Jakarta. Berbeda didaerah pedalam Irian Jaya atau Maluku yang sama sekali
terisolir sehingga tunjangan pengabdian yang diberikan sebesar 100 % gaji
pokok.

4. Struktur gaji tenaga kesehatan perjanjian kerja terdiri dari :
a. Gaji Pokok;
b. Tunjangan dapat terdiri atas :
1. tunjangan jabatan;
2. tunjangan pengabdian;
3. tunjangan kesejahteraan;
4. kerja lembur;
5. insentif;
6. iuran premi asuransi kesehatan.
MENTERI KESEHATAN
DR. ACHMAD SUJUDI

Sabtu, 12 Desember 2009

LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTAPENGANTAR

LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTAPENGANTAR

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) dalam rangka peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selain merupakan tangung jawab Pemerintah juga merupakan hak bagi masyarakat untuk ikut berperan serta. Meskipun masyarakat berhak untuk ikut berperan serta secara nyata seperti mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit, tidaklah berarti bahwa masyarakat diperbolehkan dengan sewenang-wenang atau semau-maunya untuk mendirikan dan menyelenggarakannya.
Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan dan penguasa negara berkewajiban untuk selalu menciptakan dan memelihara ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Dan sebagai negara hukum, setiap bentuk kegiatan yang dilakukan baik oleh Pemerintah sendiri maupun oleh masyarakat harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Berbagai faktor dan aspek yang terkait dengan akibat dari pendirian dan penyelenggaraan suatu kegiatan perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian baik kepada manusia maupun kepada lingkungan hidup sekitarnya. Untuk itu masyarakat harus tunduk dan patuh pada ketentuan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang diatur oleh Pemerintah. Dengan demikian untuk melakukan kegiatan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit harus mengikuti prosedur perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

PENGERTIAN PERIZINAN
Mendapatkan pemahaman tentang perizinan secara komprehensif janganlah terpaku pada satu definisi saja. Berikut ini disampaikan beberapa pengertian perizinan, sebagai berikut:
1. Menurut Lembaga Administrasi Negara
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan. Izin sebagai perbuatan hukum sepihak dari Pemerintah yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi si penerima izin perlu ditetapkan dan diatur dalam peraturan perundangan agar terdapat kepastian dan kejelasan, baik yang menyangkut prosedur, waktu, persyaratan, dan pembiayaan.
2. Menurut Prajudi Atmosudirdjo
Perizinan merupakan perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan ini merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh Pemerintah.
3. Dikompilasi dari pendapat W.F. Prins, E. Utrecht, dan Van Vollenhoven
Perizinan (vergunningen) merupakan :
- perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi suatu hal yang istimewa. (Pengertian Dispensasi dari W.F. Prins)
- bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). (Pengertian Vergunning dari E. Utrecht)
- izin guna menjalankan sesuatu perusahaan dengan leluasa. (Pengertian Lisensi dari W.F. Prins)
- bilamana orang-orang partikelir ( = swasta) setelah berdamai dengan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah. (Pengertian Konsesi dari Van Vollenhoven).
Berdasarkan pengertian perizinan sebagaimana dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan konkritnya yaitu, bahwa perizinan yang diberikan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang, dikeluarkan dalam bentuk suatu keputusan tata usaha negara (beschikking). Keputusan tata usaha negara (beschikking) ini oleh Utrecht menyebutnya ’ketetapan’, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’.
Perbedaan menyebut beschikking dengan ketetapan atau penetapan, oleh Jimly Asshiddiqie, disampaikan gagasan untuk menyeragamkan penyebutannya dengan ’ketetapan’ atau ’keputusan’ bukan penetapan. Beliau berpendapat:
”Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut ‘Keputusan’ atau ‘Ketetapan’, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah ’penetapan’ untuk sebutan bagi keputusan-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi ’Ketetapan’ yang sepadan dengan istilah ’Keputusan’. Sedangkan penetapan adalah bentuk ’gerund’ atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya.”
Perlu disampaikan juga pengertian ketetapan dari beberapa sarjana untuk mendapatkan pemahaman yang luas. Van der Pot dan Van Vollenhoven mengatakan ”Ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan pemerintahan dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan kekuasaannya yang istimewa”. Oleh Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti dijelaskan lebih lanjut definisi ketetapan dari Van der Pot dan Van Vollenhoven tersebut yaitu, bahwa membuat ketetapan itu merupakan perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ketetapan itu melahirkan hak dan/atau kewajiban dan ketetapan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban itu disebut ketetapan positif. Ketetapan itu merupakan perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, maka perbuatan hukum itu harus bersifat publiekrechtelijk yaitu berdasarkan hukum publik, artinya bahwa perbuatan itu harus bersifat memaksa bukan mengatur saja dan perbuatan yang memaksa itu pengaturannya terdapat dalam hukum publik karena ketetapan itu hanya mencerminkan kehendak satu pihak saja, pihak yang memerintah yaitu pihak pemerintah atau administrasi negara. Sedangkan Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ketetapan itu merupakan ”keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara.”
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian ketetapan sebagaimana disampaikan diatas, maka tentu akan timbul pertanyaan, apakah ada ketentuan umum yang mengatur prosedur pembuatan ketetapan / keputusan tata usaha negara. Philipus M. Hadjon, dkk., mengatakan bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang tata cara pembuatan keputusan tata usaha negara. Tiap bidang mempunyai prosedur tersendiri, dan persyaratan tersendiri pula. Dalam bidang perizinan saja masing-masing perizinan mempunyai tata cara dan persyaratan tersendiri. Contoh prosedur izin mendirikan bangunan (IMB) berbeda dengan prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Selanjutnya izin usaha untuk berbagai jenis usaha pun berjalan sendiri-sendiri. Meskipun begitu Hadjon, memberikan petunjuk untuk membuat prosedur keputusan tata usaha negara. Suatu prosedur yang baik hendaknya memenuhi tiga landasan utama hukum administrasi, yaitu landasan negara hukum, landasan demokrasi, landasan instrumental yaitu daya guna (efisiensi, doelmatigheid) dan hasil guna (efektif, doeltreffenheid).

IUS CONSTITUTUM / HUKUM POSITIF PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien, jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian rumah sakit. Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai keputusan.
Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku sampai tulisan ini dibuat, pihak swasta yang akan mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap. Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:
1) Izin Prinsip / Izin Pendirian / Pembangunan Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Masa berlaku izin ini selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun kedepan.
2) Izin Operasional / Izin Penyelenggaraan Sementara Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi. Izin ini berlaku selama 2 (dua) tahun yang diberikan secara pertahun.
3) Izin Tetap / Izin Penyelenggaraan Tetap Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Menteri Kesehatan (teknisnya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik). Masa berlaku izin ini selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memperhatikan ketentuan tentang perizinan saja. Ketentuan lain yang terkait dengan rumah sakit juga harus diperhatikan dan ditaati. Secara garis besar ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 262/Menkes/Per/VII/1979 tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah;
2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 084/Menkes/Per/II/1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik;
3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;
4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/ Menkes/SK/III/1999;
5) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/Menkes/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;
6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;
7) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah;
8) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1410/Menkes/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) –Revisi Kelima;
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
10) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 725/Menkes/E/VI/2004 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
11) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 1425/Menkes/E/XII/2006 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Publik di Lingkungan Departemen Kesehatan;
12) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor 0308/Yanmed/RSKS/PA/SK/IV/1992 tentang Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Swasta di Bidang Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing;
13) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.3.5.5797 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik Spesialis, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.1.5.787 Tahun 1999;

KELENGKAPAN SURAT PERMOHONAN PERIZINAN RUMAH SAKIT
Berdasarkan hukum positif sebagaimana disebut diatas, pihak swasta (yayasan atau badan hukum lain) yang akan mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tata cara dan persyaratan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut sebelum mengajukan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit kepada Menteri Kesehatan u.p. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Pengajuan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit disampaikan dalam bentuk surat permohonan dengan melampirkan kelengkapan berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebagai kelengkapan surat permohonan izin tetap, sebagai berikut:
1) Daftar isian untuk mendirikan Rumah Sakit
2) Rekomendasi dari Dinkes Propinsi
3) BAP RS dari Dinkes Propinsi
4) Surat pernyataan dari pemilik RS bahwa sanggup mentaati ketentuan dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan
4) Izin UU Gangguan (HO)/ UPL-UKL
5) Struktur organisasi RS
6) Daftar ketenagaan medis, paramedis non medis
7) Data Kepegawaian Direktur RS:
 Ijazah Dokter
 Surat Penugasan;
 Surat Izin Praktek (SIP)
 Surat Pengangkatan sebagai Direktur oleh pemilik RS
 Surat Pernyataan tidak keberatan sebagai Direktur dan penanggung jawab RS (asli bermaterai)
8) Data Kepegawaian Dokter:
 Ijazah Dokter
 Surat Penugasan
 Surat Izin Praktik (SIP)
 Surat Pengangkatan sebagai Tenaga Dokter di RS oleh Pemilik (untuk tenaga purna waktu)
 Surat Izin atasan langsung untuk tenaga purna waktu
 Surat lolos butuh untuk tenaga purna waktu
9) Data Kepegawaian Paramedik dilampiri Ijazah
10) Hasil pemeriksaan air minum ( 6 bulan terakhir)
11) Daftar inventaris medis, penunjang medis dan non medis
12) Daftar tarif pelayanan medik
13) Denah-denah:
 Denah situasi
 Denah bangunan (1:100)
 Denah jaringan listrik
 Denah air dan air limbah
15) Akte Notaris pendirian badan hukum
16) Sertifikat tanah.

Kemudian perlu diperhatikan bagi permohonan izin tetap agar melampirkan izin operasional dan izin prinsip. Sedangkan bagi permohonan izin operasional agar melampirkan izin prinsip.

KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
Berdasarkan bentuk pelayanan, rumah sakit dibedakan jenisnya yaitu, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap. Rumah sakit khusus adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik tertentu, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap.
Rumah sakit umum pemerintah diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan:
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis luas.
2. Rumah Sakit Kelas BII
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis terbatas.
3. Rumah Sakit Kelas BI
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 11 (sebelas) macam pelayanan medik spesialistik.
4. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) macam pelayanan medik spesialitik dasar.
5. Rumah Sakit Kelas D
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki pelayanan medik dasar.
Sedangkan untuk rumah sakit umum swasta, klasifikasinya lain lagi. Klasifikasi rumah sakit umum swasta, yaitu:
1. Rumah sakit umum tingkat Utama
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum, spesialistik, dan subspesialistik
2. Rumah sakit umum tingkat Madya
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) pelayanan medik spesialistik
3. Rumah sakit umum tingkat Pratama
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum

PENAMAAN RUMAH SAKIT DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA
Penamaan rumah sakit sering didapati memakai nama yang sama. Penamaan rumah sakit yang memakai nama yang sama dengan nama rumah sakit ditempat lain, adakalanya dapat memberikan pengaruh yang baik / positif, namun tidak jarang dapat menerima akibat yang tidak baik / negatif. Bila sebuah rumah sakit ditempat A bernama X diberitakan dimedia masa keunggulan dan kebaikannya, maka pengaruh pemberitaan itu dapat berpengaruh positif bagi rumah sakit yang memakai nama yang sama meskipun tidak berada dilokasi yang sama. Ini kalau pemberitaannya hal-hal yang baik. Bagaimana halnya bila pemberitaan yang sebaliknya. Tentu bisa-bisa mendatangkan kerugian bagi rumah sakit yang sebenarnya bukan rumah sakit yang dimaksud, hanya namanya saja yang sama. Kalau sudah begitu, bagaimana perlindungan hukumnya !
Pengaturan penamaan rumah sakit memang belum ada ketentuan hukumnya. Bila memperhatikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan berbagai Peraturan / Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur rumah sakit tidak mengatur perihal penamaan dan pendaftaran nama rumah sakit. Namun demikian untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan nama atau resiko yang tidak dapat diduga atas penggunaan nama yang sama, sebaiknya pemilik rumah sakit mendaftarkan nama rumah sakitnya pada instansi yang berwenang.
Penyelenggaraan rumah sakit merupakan kegiatan pelayanan ’jasa’ di bidang kesehatan. Oleh karena itu nama rumah sakit dapat dikategorikan juga sebagai merek jasa. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menjelaskan pengertian tentang merek jasa, yaitu:
”Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”
Penamaan rumah sakit dapat memakai nama-nama apa saja yang disukai oleh pemilik rumah sakit. Namun demikian dalam penamaan rumah sakit perlu memperhatikan etika penamaan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor : 0419/Yan.Kes/RSKS/1984 tanggal 1 September 1984 tentang Pemberian Nama Rumah Sakit, diantaranya menyebutkan bahwa akhir-akhir ini banyak penggunaan nama orang yang masih hidup untuk nama rumah sakit dan mengingat bahwa nama itu merupakan monumen, tapi juga dapat merupakan reklame bagi seseorang (yang menyalahi segi Etik Kedokteran), maka dianjurkan agar pemberian nama rumah sakit tidak mempergunakan nama orang yang masih hidup lebih-lebih bila memakai nama yang punya ataupun yang berpraktek disitu. Dalam memilih nama rumah sakit hendaknya diambil nama dari tokoh pejuang, tokoh pembangunan terutama di bidang kesehatan yang sudah almarhum untuk mengingat dan menghargai jasa-jasanya, dengan menyesuaikan besar kecilnya jasa tokoh tersebut dengan besar/kelasnya rumah sakit atau nama-nama yang netral yang punya arti kasih sayang sesama manusia.

IUS CONSTITUENDUM PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit akan mengalami perubahan. Oleh karena sampai saat ini peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari PP 38/2007 tersebut masih belum ditetapkan, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit masih menggunakan peraturan lama yang masih berlaku.
Disamping itu, Pemerintah juga sampai saat ini telah berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit (RUU Rumah Sakit). Salah satu peluang peraturan-peraturan yang lebih spesifik akan dipayungi oleh RUU Rumah Sakit tersebut, yang dalam waktu tidak lama lagi akan dibahas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


PENUTUP
Melihat pada uraian yang disampaikan diatas, dimana dalam perizinan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit pada akhirnya masih terpusat seluruhnya pada Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan zaman dimana semakin kuatnya arus otonomi daerah pada akhir-akhir ini, banyak tuntutan perubahan pengaturan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit. Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten / kota mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tanpa harus lagi menunggu izin dari Pemerintah Pusat, sehingga bisa lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. Namun demikian hal itu sampai tulisan ini diturunkan, masih belum dapat terwujud karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu. Sehingga berbagai ketentuan peraturan yang disebutkan diatas masih berlaku dan harus ditaati oleh siapa saja yang akan/telah mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit. (rb)

Disajikan oleh: Roberia, SH; Rahmat, SH; Novica Mutiara, SH; dan Sugijanto.

PERMENKES NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004TENTANG PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN MILIK PEMERINTAH

1
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004
TENTANG
PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN
PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN
MILIK PEMERINTAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan peningkatan mutu dan pemerataan
pelayanan kesehatan serta peningkatan efektifitas dan efisiensi
pendayagunaan tenaga kesehatan pada sarana pelayanan
kesehatan, dibutuhkan status tenaga kesehatan yang fleksibel;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pengadaan Tenaga
Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana Kesehatan Milik
Pemerintah;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3890 );
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3495) ;
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
5. Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara No 3938)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3637);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);
2
8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/ Per/XII/1986 tentang
Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik
10.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes /Per /IV/1988 tentang
Rumah Sakit ;
11.Keputusan Menteri Kesehatan No 1540/MENKES /SK/XII/2002 tentang
Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti dan Cara Lain.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan:
Pertama : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN PENGADAAN
TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA
KESEHATAN MILIK PEMERINTAH.
Kedua : Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana
Kesehatan Milik Pemerintah sebagaimana terlampir dalam lampiran Keputusan
ini.
Ketiga : Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum kedua dimaksudkan untuk
memberikan acuan bagi Gubernur, Bupati/ Walikota atau pimpinan sarana
kesehatan dalam melaksanakan pengadaan tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja pada sarana kesehatan milik pemerintah pusat atau
pemerintah daerah sesuai kewenangannya.
Keempat : Tenaga kesehatan yang dimaksud dalam keputusan ini adalah tenaga
kesehatan yang kedudukannya bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
Pegawai Tidak Tetap yang didayagunakan di sarana kesehatan milik
Pemerintah dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.
Kelima : Sarana kesehatan milik swasta dalam mengadakan perjanjian kerja dengan
tenaga kesehatan dapat mengacu pada ketentuan ini.
Keenam : Dengan diberlakukannya keputusan ini maka pimpinan sarana kesehatan yang
telah mempekerjakan tenaga kesehatan tidak tetap, honorer atau yang
dipersamakan harus menyesuaikan dengan keputusan ini setelah masa
perjanjian tersebut berakhir.
3
Ketujuh : Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
MENTERI KESEHATAN
DR. ACHMAD SUJUDI
4
Lampiran I
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004
Tanggal : 19 Oktober 2004
PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN
PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN
MILIK PEMERINTAH
1. PENDAHULUAN
Untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan dilakukan berbagai upaya
kesehatan yang didukung antara lain sumberdaya tenaga kesehatan yang memadai
dan merata sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan.
Kebijakan pengadaan pegawai mengalami perubahan yang mendasar dengan
dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pemerintahan
Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang ini maka kewenangan pengangkatan
pegawai daerah merupakan kewenangan Pemerintah Daerah masing-masing.
Pengangkatan pegawai termasuk tenaga kesehatan di Pusat dan Daerah juga
terdapat keterbatasan, disisi lain tenaga kesehatan khususnya tenaga medis dan
tenaga keperawatan sangat dibutuhkan di sarana kesehatan tersebut sehingga untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut untuk jangka waktu tertentu
diperlukan tenaga kesehatan di luar jalur PNS yaitu melalui pengadaan tenaga
kesehatan dengan perjanjian kerja sehingga diperoleh tenaga kesehatan sesuai
kebutuhan. Perjanjian kerja ini dapat memberi peluang bagi Pemerintah
Daerah/pimpinan sarana kesehatan dalam mengadakan tenaga kesehatan tertentu
yang akan dikaryakan sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan pedoman perjanjian kerja antara
tenaga kesehatan dengan pemberi kerja.
2. TUJUAN
Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan bagi Gubernur, Bupati/Walikota atau
pimpinan sarana kesehatan dalam upaya pengadaan tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja di sarana kesehatan milik Pemerintah untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan. Sarana kesehatan milik swasta yang mendayagunakan tenaga kesehatan
dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu dapat mengacu pada pedoman ini.
3. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan :
a. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggrakan
upaya kesehatan;
5
b. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian kerja antara tenaga kesehatan
dengan pimpinan sarana kesehatan secara tertulis, dalam waktu tertentu yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
c. Pemberi kerja adalah pimpinan sarana kesehatan atau pejabat yang
berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
d. Tenaga kesehatan adalah tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang
berkedudukan bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap,
yang untuk jenis tertentu harus memiliki surat izin praktik/surat izin kerja.
4. JENIS PERJANJIAN KERJA
Jenis perjanjian kerja dibedakan berdasarkan pada :
a. Jumlah tenaga kesehatan yang di kontrak
1) Perjanjian Kerja Perorangan
Perjanjian kerja perorangan, merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara
pemberi kerja dengan seorang tenaga kesehatan
2) Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian kerja bersama merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara
pemberi kerja dengan beberapa tenaga kesehatan sebagai suatu Tim Kerja
yang bergerak di bidang kesehatan untuk angka waktu tertentu.
b. Jenis pekerjaan
1) Paket pelayanan.
Adalah Perjanjian kerja yang bertujuan untuk menyelesaikan sejumlah beban
kerja tertentu, misalnya pelayanan imunisasi pada daerah tertentu.
2) Prestasi .
Adalah Perjanjian kerja yang didasarkan pada prestasi (target) yang dicapai.
Apabila prestasi melampaui target pelayanan maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat memperoleh insentif sesuai yang diperja njikan.
c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu .
1) Jangka waktu perjanjian kerja untuk tenaga kesehatan tertentu yang memiliki
surat izin praktik sementara paling lama 18 bulan.
2) Sedang untuk tenaga kesehatan tertentu yang telah memiliki surat izin praktik,
jangka waktu perjanjian kerja paling lama 2(dua tahun.
3) Perpanjangan perjanjian kerja tenaga kesehatan dimaksud butir 2), hanya
boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu )tahun
dengan ketentuan jumlah seluruh Perjanjian kerja tidak boleh lebih dari tiga
tahun.
4) Perpanjangan perjanjian kerja dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari
sebelum perjanjian kerja berakhir.
6
5. POLA PERJANJIAN KERJA
a. Judul ( Heading ) atau Nama Perjanjian
Judul perjanjian sebaiknya singkat dan jelas.
b. Pembukaan ( Opening )
Pembukaan ini merupakan awal dari suatu akta.
c. Komparasi / Para Pihak ( Parties )
Komparasi merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para
pihak yang membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan
identitas serta tempat tinggal yang bersangkutan.
d. Premise ( Recitals ).
Premise atau recitals biasa dipergunakan sebagai pendahuluan (introduction) suatu
akta atau pengantar yang menunjukkan maksud utama dan para pihak, dan
menyertakan alasan mengapa suatu akta itu dibuat.
Premise disebut juga suatu pernyataan yang merupakan konsiderans
/pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir suatu perikatan. Penulisan
dalam akta biasanya secara baku dimulai dengan kata “bahwa”.
e. Isi Perjanjian
Isi perjanjian mencakup ketentuan dan persyaratan. Pada bagian ini para pihak
mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu, yang
merupakan kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis yang sah.
Sebagai pokok perjanjian maka diharapkan dapat mencakup dan mengandung
semua isi perjanjian sekaligus merupakan isi akta yang memuat secara mendetail
mengenai obyek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap
mengenai prestasi.
Mengenai isi perjanjian dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :
1) Unsur esensialia
Unsur esensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok
sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu
perjanjian, sehingga perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak
mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini memang
ditentukan dan harus ada oleh Undang-Undang karena bila tidak, maka
perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak mengikat. Dalam perjanjian kerja hal
yang merupakan esensialia adalah pekerjaan dan upah yang diberikan.
2) Unsur Naturalia
Unsur Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya
dicantumkan dalam perjanjian. Namun tanpa pencantuman syarat yang
dimaksud itu pun suatu perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu
perjanjian menjadi tidak mengikat.
3) Unsur Aksidentalia
Unsur Aksidentalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi
dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud
khusus sebagai suatu kepastian.
7
Hal ini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar “asas kebebasan
berkontrak” (freedom of contract), asalkan hal tersebut tidak bertentangan
dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
f. Klausula ( Clause )
Ada hal penting lain yang harus mendapat tempat dalam perjanjian ini. Hal-hal
penting yang dimaksudkan itu adalah mengenai berbagai klausula yang acapkali
juga muncul dan dimasukkan dalam merumuskan isi perjanjian, sekaligus
merupakan bagian yang patut memperoleh perhatian misal kausula force majeure
yang dimaksudkan sebagai langkah awal untuk melakukan antisipasi yang
ditempuh oleh para pihak yang membuat perjanjian terhadap kejadian yang
mungkin timbul dikemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksaan
perjanjian.
g. Penutup / Testimonium Clause (Closure)
Setiap perjanjian tertulis, selalu ditutup dengan kata atau kalimat yang
menyatakan bahwa perjanjain itu dibuat dakam jumlah atau rangkap yang
diperlukan dan bermaterai cukup, maksudnya telah memenuhi ketentuan yang
berlaku misalnya Rp. 6000,- (enam ribu rupiah) dan ditandatangani oleh para
pihak atau yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.
h. Tanda Tangan (Attestation)
Tanda tangan para pihak atau yang mewakili, dan tanda tangan saksi-saksi.
Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan perseorangan
melainkan badan hukum, maka dibawah tanda tangan juga disebutkan nama dan
jabatannya, dilengkapi dengan cap sarana kesehatan di sebelah tanda tangan.
i. Lampiran
Dalam surat perjanjian tidak jarang dan biasa disertai dengan Lampiran, apabila
terdapat hal-hal yang perlu disertakan atau dilekatkan pada perjanjian induk.
Lampiran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok atau
induk, yang mungkin bila dibuat dalam perjanjian pokok mengalami kesulitan
teknis atau memang sengaja dibuat secara terpisah misalnya seperti surat kuasa.
6. SYARAT PERJANJIAN KERJA
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang -undangan yang berlaku.
7. MATERI MUATAN PERJANJIAN KERJA
a. Nama dan alamat sarana kesehatan pemberi kerja
b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ tenaga kesehatan.
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
8
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan tenaga
kesehatan .
g. Besarnya gaji / upah dan cara pembayarannya
h. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
i. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
j. Ketetapan tanggal mulai berlaku dan berakhir serta ditandatangani oleh kedua
belah pihak.
k. Penyelesaian perselisihan.
8 . PENGADAAN
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan pelayanan
kesehatan yang prima perlu pertimbangan yang matang melalui prosedur yang
komprehensif dari proses analisis kebutuhan tenaga sampai kepada evaluasi
kinerjanya. Pertimbangan ini perlu dilakukan disamping untuk mendapatkan tenaga
yang sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasinya juga sebagai dasar dalam penetapan
butir-butir Perjanjian kerja.
Langkah-langkah pengadaan tenaga kesehatan dengan Perjanjian kerja:
a. melakukan pendataan tenaga yang dimiliki
b. melakukan analisis kebutuhan tenaga .
c. menetapkan jenis pekerjaan (spesifikasi)
d. menetapkan kebutuhan tenaga berdasarkan jenis dan kualifikasi yang diisusun
berdasarkan skala prioritas..
e. melaksanakan penyebar luasan informasi.
f. melakukan penjaringan peminatan sesuai dengan ketentuan persyaratan yang
diberlakukan antara lain seleksi administrasi, seleksi tertulis, wawancara dan
psikotest.
g. membuat pengumuman hasil seleksi.
h. membuat surat Perjanjian kerja .
9. HAK
a. Hak Pemberi kerja
1) pemberi kerja berhak memperoleh jasa dari tenaga kesehatan;
2) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak
memenuhi kewajibannya.
3) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak
memenuhi kewajibannya.
b. Hak Tenaga Kesehatan
1) memperoleh penghasilan/upah ;
2) memperoleh pengakuan pengalaman kerja sesuai dengan masa kerja;
3) memperoleh tunjangan transport, premi asuransi jiwa dan jaminan
pemeliharaan kesehatan sesuai peraturan yang berlaku di sarana kesehatan
tersebut;
4) memperoleh kesejahteraan/insentif yang ditetapkan oleh pimpinan. misalnya
jasa medik, lembur dan lain-lain;
5) memperoleh cuti yang ditetapkan oleh pimpinan :
a) cuti tahunan lamanya 12 hari kerja bagi tenaga kesehatan dengan
perjanjian kerja lebih dari satu tahun;
9
b) cuti hamil lamanya satu bulan sebelum melahirkan dan satu setengah
bulan setelah melahirkan bagi karyawati;
c) cuti sakit lamanya berdasarkan atas surat keterangan dokter;
d) selama menjalankan cuti hak-hak atas pengahasilan/upah tetap dibayar
sebagaimana mestinya.
6) menjalankan praktik di luar jam kerja sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
7) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pemberi kerja tidak
memenuhi kewajibannya.
10. KEWAJIBAN
a. Kewajiban Pemberi kerja
1) membayarkan penghasilan/upah dan kesejahteraan/insentif tenaga kesehatan
sesuai yang diperjanjikan;
2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) melaksanakan ketentuan waktu kerja/lembur sesuai peraturan perundangan
yang berlaku;
4) memenuhi dan menghormati hak-hak tenaga kesehatan .
b. Kewajiban Tenaga Kesehatan .
1) untuk tenaga kesehatan tertentu wajib memiliki surat ijin praktik sementara/ surat
ijin praktik/surat ijin kerja.
2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan perundangundangan
yang berlaku
3) melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya;
11. PEMBINAAN
a. Pembinaan adalah suatu kegiatan pemberian petunjuk tentang cara pelaksanaan
upaya sesuai dengan ketentuan dan bertujuan mendapatkan kesatuan tindak
untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. Kegiatan
pembinaan meliputi pengawasan, pengendalian dan penilaian. Pembinaan
terhadap tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja secara umum dilakukan oleh
organisasi profesi yang bersangkutan dimana tenaga tersebut bekerja.
b. Kegiatan pembinaan dalam tujuan peningkatan mutu, antara lain:
1) pendidikan berkelanjutan, seminar dan lokakarya;
2) pelatihan. penyuluhan hukum dan etika profesi;
3) keterampilan pengelolaan program.
c. Tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran disiplin dikenakan sanksi
berupa:
1) teguran lisan ;
2) teguran tertulis;
3) pemutusan hubungan kerja sebelum berakhirnya batas waktu perjanjian kerja.
10
d. Kepada tenaga kesehatan dilakukan penilaian kinerja setiap 3 (tiga) bulan sekali
yang dipergunakan sebagai pertimbangan pemberian penghargaan dan sanksi.
12. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
a. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pemberi kerja apabila tenaga
kesehatan :
1) Tidak sehat jasmani dan/atau rohani.
3) Melanggar disiplin berat.
4) Melakukan tindak pidana.
5) Meninggal dunia
6) Selesai masa perjanjian kerja.
7) Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan
dalam perjanjian kerja.
b. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan apabila pihak
pemberi kerja :
a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah
disepakati dalam perjanjian kerja.
2) Telah melakukan perbuatan yang tidak layak/baik terhadap tenaga kesehatan
tersebut.
2. Memberi tugas tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.
c. Apabila salah satu pihak memutuskan hubungan kerja secara sepihak sebelum batas
waktu perjanjian kerja berakhir sebelum batas waktu yang disepakati maka pihak
yang memutuskan hubungan kerja sepihak tersebut agar membayar ganti rugi
sesuai kesepakatan.
d. Apabila timbul perselisihan antara tenaga kesehatan dengan pemberi kerja akan
diselesaikan melalui :
a. Musyawarah antara pemberi kerja dengan tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
b. Apabila penyelesaian melalui musyawarah tidak dapat diselesaikan maka
diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
13. PENUTUP
Pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja disusun berdasarkan
kepentingan akan kebutuhan tenaga kesehatan di sarana kesehatan pemerintah yang
memuat acuan untuk memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menetapkan
kebijakan lebih lanjut dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.
MENTERI KESEHATAN
DR. ACHMAD SUJUDI
11
Lampiran II
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004
Tanggal : 19 Oktober 2004
MODEL PENYUSUNAN STRUKTUR GAJI TENAGA KESEHATAN
DENGAN PERJANJIAN KERJA
1. PENDAHULUAN
Tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja merupakan pendayagunaan tenaga
kesehatan oleh sarana kesehatan dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.
Kedudukannya bukan sebagai PNS maupun Pegawai Tidak Tetap. Oleh karenanya
pengaturan hak dan kewajibannya mengacu pada peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan termasuk penetapan struktur gaji dan upah. Model penyusunan
struktur gaji ini bertujuan memberikan pedoman dalam penyusunan struktur gaji dan
upah yang sistematik pada sarana kesehatan Pemerintah yang mendayagunakan tenaga
kesehatan dengan perjanjian kerja agar dapat menjadi acuan.
2. KRITERIA
Kriteria dalam penyusunan gaji/upah terdiri dari :
a. gaji/upah harus berkelayakan dalam arti penghasilan yang diterima mampu memenuhi
kebutuhan hidup;
b. gaji/upah harus berkeadilan dalam arti penghasilan yang diterima sesuai dengan
produk/jasa yang telah diberikan. Sedang produk seorang tenaga kesehatan
ditentukan oleh tingkat pendidikannya, pengalaman kerjanya, tanggung jawab dan
risiko pekerjaannya.
3. KEPENTINGAN PRAKTIS
Untuk kepentingan praktis,seperti halnya dalam penerimaan CPNS maka dalam
penyusunan gaji/upah ini, setiap tenaga kesehatan dipandang belum memiliki
pengalaman kerja. Sehingga apa yang ditetapkan disini sebenarnya adalah gaji pokok.
Untuk memberi penghargaan pada tenaga kesehatan yang ditempatkan dalam satu
jabatan teknis/fungsional, maka pada gaji pokok dapat diberikan tunjangan jabatan
fungsional. Sehingga penghasilan tenaga kersehatan terdiri dari : gaji pokok + tunjangan
jabatan + kesejahteraan, seperti uang transport, dan lain-lain.
4. KEBUTUHAN BIAYA HIDUP
Untuk memperoleh gambaran bagaimana selayaknya gaji pokok/upah dimasing-masing
tingkat jabatan maka perlu ditentukan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi
output seorang tenaga kesehatan yang terdiri dari tingkat pendidikan; pengalaman kerja,
tanggung jawab serta faktor risiko pekerjaan. Pada penyusunan gaji pokok ini
sebagaimana yang terdapat dilingkungan pengangkatan pertama CPNS, setiap orang
dianggap belum memiliki pengalaman kerja, dengan faktor risiko pekerjaan minimal
terkecuali bagi tenaga kesehatan yang ditempatkan didaerah terpencil akan diberikan
tunjangan pengabdian dan faktor tanggung jawab diejawantahkan dalam tunjangan
jabatan.
12
Dengan demikian faktor tingkat pendidikan yang menentukan besar kecilnya gaji pokok
tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja, seperti terdapat dilingkungan PNS
sebagaimana terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengangkatan pertama dalam golongan ruang pangkat PNS
Namun berbeda dengan PNS dalam penyusunan gaji pokok, disini jenjang
pendidikan diberi skoring seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2.
Skoring berdasarkan tingkat pendidikan.
No. Tingkat pendidikan Golongan Ruang Pangkat
1 SMU II/a
2 Akademi ( D3) II/b
3 Sarjana ( S1) III/a
4 S2/ Spesialis III/a
No Tingkat Pendidikan Skoring pada setiap tingkat
pendidikan
1 SMU 140
2 D2 150
3 D3 160
4 Sarjana ( S1 ) 170
5 Dr, Drg, Apoteker 180
6 Pasca Sarjana (S2) 190
7 Spesialis 200
13
5. GAJI POKOK
Tabel 3.
Gaji Pokok Masing -Masing Tingkat Pendidikan
6. TUNJANGAN
a. ..Tunjangan adalah tambahan penghasilan diluar gaji pokok sebagai akibat tenaga
kesehatan mengemban tanggung jawab atau menanggung risiko pekerjaan.
Berbeda dengan PNS pada gaji pokok tenaga Perjanjian kerja tidak diberikan
tunjangan keluarga, karena perhitungan UMR telah meliputi perhitungan kebutuhan
satu keluarga. Demikian pula pengalaman kerja yang dalam sistim PNS disebut
pengalaman kerja maka pada tenaga Perjanjian kerja penghargaan terhadap
pengalaman kerja diejawantahkan kedalam kenaikan gaji pokok setelah menanda
tangani kontrak yang kedua atau ketiga.
Besarnya tunjangan jabatan atau tunjangan pengabdian didaerah terpencil
setinggi- tingginya sama dengan besarnya gaji pokok. Jadi berbeda dengan
tunjangan jabatan PNS yang besarnya jauh lebih besar dari gaji pokok.
Tunjangan yang disarankan :
1) Tunjangan jabatan untuk setiap jabatan : 0,2 x Gaji Pokok *);
2) Tunjangan pengabdian untuk setiap jabatan :0,8 - 1 x Gaji Pokok.
*) Untuk memberikan tunjangan jabatan perlu ditetapkan jabatan-jabatan teknis/
fungsional yang manakah yang menerima tunjangan. Misalnya, tenaga teknis/
fungsional yang setingkat dengan SMU keatas.
Tunjangan kesejahteraan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja dapat berupa
tunjangan materiil berupa uang dan tunjangan non materiil ( berupa fasilitas ). Apabila
tunjangan materiil yang diberikan, maka tunjangan diberikan bersamaan dengan
pembayaran gaji, karena tunjangan tersebut bersifat tetap.
No Tingkat Pendidikan Gaji Pokok
1 SMU = 1,4 UMR
2 D2 = 1, 5 UMR
3 D3 = 1, 6 UMR
4 S1 = 1,70 UMR
5 Dr, Drg, Apoteker = 1,80 UMR
6 S2 = 1,90 UMR
7 Spesialis = 2.00 UMR
14
Sehingga penghasilan tenaga kesehatan terdiri dari :
Gaji Pokok + Tunjangan Jabatan/ Tunjangan Pengabdian + Tunjangan
Kesejahteraan.
7. PEMELIHARAAN KESEHATAN
Pemeliharaan kesehatan diintegrasikan kedalam tunjangan kesejahteraan apabila
tenaga kesehatan yang bersangkutan bukan peserta oleh asuransi kesehatan.
Disini, setiap terjadinya peristiwa sakit, tenaga kesehatan membayar sendiri biaya
pengobatannya. Sebaliknya apabila tenaga kesehatn tersebut. tidak sakit maka
pemberian tunjangan kesehatan tersebut merupakan keuntungan yang menjadi
milik tenaga kesehatan, diberikan setiap bulan bersamaan dengan pembayaran
gaji.
Namun demikian, untuk menghindari biaya kesehatan yang tinggi seyogyanya
tenaga kesehatan tersebut menjadi peserta asuransi kesehatan, pembayaran premi
asuransi dapat ditanggung oleh sarana kesehatan yang bersangkutan.
8. KERJA LEMBUR
Tenaga kesehatan berhak atas uang lembur apabila bekerja melampaui jam kerja
yang ditentukan. Besarnya uang lembur / jam dihitung dari gaji pokok dibagi 4 x 37,3
jam = gaji pokok / 149 jam.
Banyaknya jam lembur / bulan merupakan jumlah dari kerja lembur harian.
Ketentuan lembur dalam pasal 78 ayat(1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tetntang Ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas )jam dalam 1 (satu) minggu dan
harus dengan persetujuan yang bersangkutan.
9. INSENTIF
Insentif adalah pemberian imbalan pada tenaga kesehatan atas hasil kerja yang
melampaui rata-rata, dalam rangka meningkatkan output sarana kesehatan. Misalnya
jika secara rata-rata seorang tenaga kesehatan outputnya dalam 7 jam kerja =350
unit, maka ia dirangsang dengan memberikan insentif agar menghasilkan 400 unit.
Dengan demikian sistim insentif berbeda dengan kerja lembur. Penetapan insentif ini
tidak mudah karena sulit menetapkan parameternya. Insentif hanya diberikan pada
tenaga-tenaga tertentu yang termasuk dalam program insentif. Jadi berbeda
pengertiannya dengan insentif yang dikenal dilingkungan pegawai dimana setiap
orang memperoleh sejumlahuang tertentu yang tujuan utamanya untuk memperbaiki
kesejahteraan.
Kriteria pemberian insentif :
a. ada beban kerja yang harus segera diselesaikan, yang dituangkan dalam program
insentif untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka waktu.
b. ada parameter yang jelas;
c. tenaga kesehatan yang masuk program adalah orang-orang terpilih.
Besaran insentif tidak boleh melebih gaji pokok perbulan. Pembayaran insentif
dibayarkan diluar pembayaran gaji.
15
10. CONTOH PERHITUNGAN GAJITENAGA DENGAN PERJANJIAN KERJA
a. DAERAH REGIONAL DKI
PERAWAT
Seorang perawat, pendidikan setingkat SMU
UMR DKI = Rp. 426.250,-
1. Gaji pokok perawat : 1,4 x Rp. 426.250 = Rp. 596. 750,-
2. Tunjangan jabatan : 0,2 x Rp. 596.750 = Rp. 119. 350,-(+)
fungsional
3. PENGHASILAN : Rp. 716. 100,-
DOKTER
1. Gaji Pokok : 1,8 x Rp. 426.250 = Rp. 767.250,-
2. Tunjngan jabatan dokter : 0,2 x Rp. 767.250 = Rp. 153.450,-(+)
3. PENGHASILAN : Rp. 920. 700,-
BIDAN ( D2)
1. Gaji Pokok : 1,5 x Rp. 426. 250 = Rp. 639. 375,-
2. Tunjangan jab. Bidan : 0,2 x Rp. 639. 375 = Rp. 127. 875,- (+)
3. PENGHASILAN : Rp. 767.250,-
b. DAERAH TERPENCIL, KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU.
DOKTER
1. Gaji Pokok = Rp. 767.250,-
2. Tunjangan jabatan dokter : = Rp. 153.450,-
3. Tunjangan Pengabdian 0,8 x Rp 767.250,- = Rp. 613.800,- (+)
4. PENGHASILAN : Rp. 1.534.500,-
16
PERAWAT
1. Gaji Pokok : = Rp. 596. 750,-
2. Tunjangan jab. perawat : = Rp. 119. 350,-
3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 596.750 = Rp. 477.400,- (+)
4. PENGHASILAN : Rp. 1.193.500,-
BIDAN
1. Gaji Pokok = Rp. 639. 375,-
2. Tunjangan jab. bidan : = Rp. 127. 875,-
3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 639.375 = Rp. 511. 500,-(+)
4. PENGHASILAN : Rp. 1. 278.750,-
11. CONTOH PERHITUNGAN I GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL
DOKTER
Golongan III/a, 1 tahun masa kerja, keluarga : 1 istri/suami + 1 anak.
1. Gaji Pokok : = Rp. 760. 800,-
2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 760.800 = Rp. 91. 296,-
(+)
3. Gaji Kotor : Rp. 852. 096,-
4. Iuran wajib 10 % : 0,1 x Rp. 852. 096 = Rp. 85. 210,-
(-)
5. Gaji bersih : Rp. 766.886,-
6. Tunjangan tenaga kesehatan sarjana
Golongan III : Rp. 281.300,-
(+)
7. PENGHASILAN : Rp. 1.048. 186,-
PERAWAT
Perawat golongan II/a; Masa Kerja : 1 Tahun; Berkeluarga : 1 istri/suami+ 1 anak.
1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-
2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 628.409 = Rp. 75. 409,- (+)
3. Gaji Kotor : Rp. 703. 818,-
4. Iuran Wajib 10 % : 0,1 x Rp. 703.818 = Rp. 70. 382,-
(-)
5. Gaji Bersih : Rp. 633. 436,-
6. Tunjangan tenaga keperawatan Gol. II : Rp. 112. 500,-
(+)
7. PENGHASILAN : Rp. 745. 936,-
17
BIDAN ( D2 )
Bidan gol. II/a; Masa kerja : 1 tahun; Belum berkeluarga.
1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-
2. Iuran wajib : 0,1 x Rp. 628. 409 = Rp. 62. 841,-
(-)
3. Gaji bersih : Rp. 565. 568,-
4. Tunjangan tenaga keperawatan gol II : Rp. 112. 500,-
(+)
5. PENGHASILAN : Rp. 678. 068,-
Bagi PNS yang bekerja didaerah terpencil tidak ada tunjangan pengabdian, untuk
daerah terpencil, terkecuali di Propinsi Papua, atau dalam status PTT.
12. PENUTUP
1. Penyusunan struktur gaji tenaga kesehatan Perjanjian kerja menggunakan
metoda evaluasi jabatan, yakni suatu metoda yang memperbandingkan nilai-nilai
yang terdapat dalam jabatan. Untuk itu ditentukan terlebih dahulu faktor
jabatan yang akan diperbandingkan, seperti :
a. tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kesulitan pekerjaan yang
terdapat dalam jabatan;
b. pengalaman kerja;
c. tanggung jawab yang terdapat dalam jabatan;
d. risiko.
Dalam penyusunan gaji pokok faktor pengalaman kerja belum diperhitungkan
karena tenaga kesehatan yang didayagunakan belum memiliki pengalaman
kerja. Sedangkan faktor tanggung jawab dan risiko dimasukkan kedalam
tunjangan jabatan, yakni tambahan penghasilan karena menanggung beban
yang lebih besar.
2. Langkah berikutnya adalah memberi skoring setiap tingkat pendidikan, dengan
ketentuan bahwa setiap tiga tahun akan bernilai 20 ( dua puluh ).
Setelah skoring ditetapkan maka dihitung gaji pokok masing-masing kategori
tenaga dengan mengkalikan dengan UMR.
3. Besarnya penghasilan tenaga kesehatan dimasing-masing region (daerah)
tergantung dari tinggi rendahnya UMR. Tunjangan jabatan diberikan sebesar 20
% dari gaji pokok, sebagai penghargaan terhadap tanggung jawab tenaga
kesehatan.. Tunjangan pengabdian didaerah terpencil seperti Pulau Seribu
diberikan sebesar 80 % dari gaji pokok, karena daerah ini tidak terlalu jauh dari
Jakarta. Berbeda didaerah pedalam Irian Jaya atau Maluku yang sama sekali
terisolir sehingga tunjangan pengabdian yang diberikan sebesar 100 % gaji
pokok.
18
4. Struktur gaji tenaga kesehatan perjanjian kerja terdiri dari :
a. Gaji Pokok;
b. Tunjangan dapat terdiri atas :
1. tunjangan jabatan;
2. tunjangan pengabdian;
3. tunjangan kesejahteraan;
4. kerja lembur;
5. insentif;
6. iuran premi asuransi kesehatan.
MENTERI KESEHATAN
DR. ACHMAD SUJUDI
19

PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT YANG WAJIB DILAKSANAKAN DAERAH

di kutip, http://www.desentralisasi-kesehatan.net/id/moduldhs/hukum/KepMenKes_No_228__SK_III_2002_SPM_RSDaerah.pdf.

Page 1

1
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 228/MENKES/SK/III/2002
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
RUMAH SAKIT YANG WAJIB DILAKSANAKAN DAERAH
Menimbang:
a. bahwa untuk kemudahan dalam melaksanakan ketentuan tentang Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah, dipandang perlu
menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan teknis berupa Pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor 1747/Menkes-
Kesos/SK/XII/2000;
b. bahwa sehubungan dengan butir a, maka perlu ditetapkan Pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pedoman
Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/Menkes/SK/Per/II/1998
tentang Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Menkes/SK/XII/1999 tentang
Rekam Medis/Medical Record;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
9. Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor
1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal
Dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
Page 2
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Pertama:
Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit Yang Wajib Dilaksanakan Daerah.
Kedua:
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama tercantum dalam lampiran Keputusan ini dan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Ketiga:
Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan akan diadakan perbaikan seperlunya
apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Maret 2002
MENTERI KESEHATAN
ttd
Dr. ACHMAD SUJUDI
Page 3
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
3
Lampiran:
PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT YANG
WAJIB DILAKSANAKAN DAERAH
A. PENDAHULUAN
1. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Ini berarti bahwa dalam rangka
Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota bertanggungjawab
sepenuhnya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya. Rumah sakit sebagai salah satu sarana
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran
yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu Rumah Sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai
dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
2. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menyatakan bahwa kewenangan
yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota merupakan
pelayanan minimal yang sesuai standar dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang dalam pelaksanaan
harus disesuaikan. Pelayanan Minimal yang dilaksanakan ini harus disesuaikan dengan
standar yang ditentukan oleh propinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh
pemerintah. Bahwa Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang
Kesehatan Yang Wajib Dilaksanakan di Kabupaten/Kota ini telah dibuat berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor
1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000 . Dengan demikian maka mempertimbangkan bahwa
pokok-pokok yang tertera pada lampiran Keputusan Menteri tersebut, khususnya untuk
Rumah Sakit, dipandang perlu untuk lebih memberikan panduan yang berupa pedoman
penyusunan standar pelayanan minimal rumah sakit yang wajib dilaksanakan di
Kabupaten/Kota, agar propinsi dapat menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di wilayahnya.
3. Arahan ini akan berbentuk pedoman dengan isinya yang berupa garis-garis besarnya
saja. Adapun untuk lebih detailnya, dalam penetapan angka standar oleh rumah sakit,
berdasarkan kemampuan sarana yang dimiliki, kemampuan masyarakat sekitar di
wilayah itu serta kemampuan pembiayaan rumah sakit pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota
4. Departemen Kesehatan telah menekankan hal-hal yang terkait dengan pembangunan
kesehatan yaitu prioritas pembangunan kesehatan perlu lebih dipertajam dengan
paradigma sehat dengan memberikan perhatian khusus pada masyarakat yang kurang
mampu.
5. Dalam melaksankannya profesionalisme pelaksanaan pelayanan kesehatan dituntut
untuk menjamin peningkatan mutu pelayanan yang lebih terbuka (transparan) dan lebih
bertanggung jawab (akuntabel).
6. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah, mengandung maksud bahwa
pemerintah di daerah bertanggungjawab pula atas kelancaran, pengelolaan, pembiayaan
dan kontrolnya. Hal ini semata untuk kesejahteraan rakyat di daerah sendiri.
B. DASAR HUKUM
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Page 4
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
4
3. Undang-undnag Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pedoman
Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/Menkes/SK/Per/
XII/1988 tentang Rumah Sakit.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Menkes/SK/
Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record.
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.
9. Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor
1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan
Minimal dalam Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
C. PENGERTIAN
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Kabupaten/Kota adalah standar pelayanan
berdasarkan kewenangan yang telah diserahkan, yang harus dilaksanakan Rumah Sakit
Kabupaten/Kota untuk meningkatkan mutu pelayanan yang dapat dijangkau oleh masyarakat
yang sekaligus merupakan akuntabilitas daerah kepada pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintah Kabupaten/Kota serta sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan pemerintah
kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota.
D. RUANG LINGKUP
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000
tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota, maka pedoman ini merupakan acuan bagi setiap Propinsi untuk menetapkan
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Kabupaten/Kota masing-
masing. Rumah Sakit Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal yang telah
ditetapkan oleh propinsi dengan memperhatikan situasi kondisi wilayah setempat.
E. FALSAFAH
1. Kesehatan adalah Hak Warga Negara, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Kesehatan adalah investasi Sumber Daya Manusia.
3. Kesehatan adalah tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan Masyarakat.
4. Upaya kesehatan berdasarkan perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
5. Dalam Pembangunan Kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal, bermutu, efisien dan merata, tanpa
memandang suku dan golongan.
F. VISI
Pelayanan rumah sakit yang Prima terjangkau dan merata sesuai standar
Page 5
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
5
G. MISI
1. Meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat di wilayahnya.
2. Meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya membiayai pelayanan-
pelayanan yang dilaksanakan oleh rumah sakit yang diperuntukkan kepada masyarakat
yang tidak mampu diwilayahnya.
3. Meningkatkan peran rumah sakit Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam
peningkatan mutu pelayanan bagi masyarakat khususnya bagi yang tidak mampu.
4. Meningkatkan peran rumah sakit Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat tidak mampu untuk jenis pelayanan rujukan,
kegawatdaruratan, kesehatan ibu anak, pelayanan darah, kekurangan energi
protein/kurang gizi, serta pemberantasan penyakit menular.
5. Mengembangkan system pembiayaan pelayanan kesehatan dalam bentuk unit cost untuk
masing-masing jenis pelayanan.
H. TUJUAN
1. Terlaksananya peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pembiayaan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota.
2. Terlaksananya pelayanan kesehatan rujukan, pelayanan kesehatan dasar.
3. Terlaksananya pelayanan yang dapat dijangkau oleh masyarakat yang tidak mampu.
4. Terlaksananya pelayanan yang bermutu oleh rumah sakit diperuntukkan
bagimasyarakat.
5. Terlaksananya pelayanan rujukan yang tepat guna dan berjalan lancar sesuai dengan
tuntutan masyarakat di wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota.
6. Standar pelayanan minimal merupakan salah satu upaya untuk mendorong pemerintah
daerah memberikan pelayanan atau kegiatan minimal yang harus dilakukan rumah sakit
yang bertujuan agar kebutuhan dasar masyarakat dibidang kesehatan umumnya dan
pelayanan kesehatan rujukan/rumah sakit tidak terabaikan, sedangkan pendanaannya
diatur melalui dana alokasi umum atau dana dari sumber lainnya yang sah.
I. MANFAAT STANDAR PELAYANAN MINIMAL:
1. Bagi masyarakat:
a. tersedia pelayanan yang terjangkau dan berkesinambungan.
b. Pelayanan bermutu dan sesuai standart
c. Meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat.
d. Melindungi hak asasi masyarakat dibidang kesehatan.
2. Bagi Rumah Sakit
a. akuntabilitas rumah sakit kepada pemerintah daerah.
b. Pemacu untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja rumah sakit.
c. Memudahkan rumah sakit untuk menentukan strategi.
d. Dapat dijadikan salah satu dasar untuk menghitung besarnya subsidi kepada rumah
sakit oleh pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan masyarakat.
3. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota
a. Adanya akuntabilitas pelayanan kesehatan.
b. Merupakan rujukan dalam rangka melakukan pembinaan diwilayahnya.
c. Mengetahui hal-hal yang harus di fsilitas oleh Kabupaten/Kota
d. Mengetahui ruang kewenangan dalam bidang kesehatan daerah Kabupaten Kota.
e. Merupakan acuan yang dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan
pembinaan.
Page 6
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
6
4. Bagi Propinsi
Merupakan acuan untuk propinsi dalam menetapkan sebagai tolok ukur pelaksanaan
kewenangan minimal yang menjadi kewajiban daerah Kabupaten Kota.
5. Bagi Pemerintah Pusat
Terjaminnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya yang tidak mampu.
J. STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT DAERAH.
1. Standar Pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen
rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik
rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit.
2. Indikator
Merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi
terjadinya perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa
indicator, yaitu:
a. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang
memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap
dan lain-lain.
b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya
kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.
c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah
yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.
d. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan
sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan
lain-lain.
e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit
maupun penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih
murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.
f.
Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya
angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat,
meningkatnya kesejahteraan karyawan.
3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam
melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan propinsi,
kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.
4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harus
dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan
pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah
setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalam rumah sakit
yaitu meliputi:
a. Manajemen Sumberdaya Manusia.
b. Manajemen Keuangan.
c. Manajemen Sistem Informasi Rumah Sakit, kedalam dan keluar rumah sakit.
d. Sarana prasarana.
e. Mutu Pelayanan.
Page 7
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
7
6. Indikator Kinerja
No. Pelayanan Kegiatan Minimal yang
wajib dilakukan
Indikator/Cakupan
Standar/Fokus
1.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
Jumlah rumah sakit, 1 TT
untuk 1500 penduduk Kelas
C jumlah pasien miskin
100% terlayani
Standar
disusun
oleh
Propinsi sesuai kesepakatan
dengan Kabupaten/Kota
2.
Manajemen Rumah Sakit
Jumlah dokter spesialis 4
dasar
a. SDM
Membuat rencana ketenaga
kerjaan di rumah sakit
meliputi: Medis, Non Medis
Diklat, 5% dari jumlah
anggaran rumah sakit
b. Keuangan
Penerimaan RS untuk pem-
biayaan operasional RS
Analisa keuangan, peren-
canaan, evaluasi
c. Sarana prasarana/alat untuk men-dukung
pelayanan
Sesuai dengan standar
pelayanan alat medis, sesuai
dengan spesialisasi yang
dimiliki. Sanitasi lingkungan
RS/limbah rumah sakit
Dikalibrasi secara berkala
Kandungan limbah cair

PH 6-9

BOD 30 Mg/l

COD 80 Mg/l

TSS 30 Mg/I
d. Perencanaan administrasi
Rencana strategi, master
plan, master program
e. Mutu
Rumah sakit terakreditasi
untuk pelayanan dasar
f. Manajemen system informasi rumah
sakit
• Rekam Medik,
• Informasi Keuangan RS;
• Data-data umum, dan
informasi seluruh kegia-
tan dan pelayanan di RS
• Data-data Pelayanan RS
• Data-data Kepegawaian
• Data-data alat
3.
Pelayanan Medik
Pelayanan oleh tenaga
medis, meliputi Promotif
a. Rawat Jakan
Preventif,
Kuratif,
Rehabilitatif, untuk rujukan,
kegawat-
daruratan,
kesehatan ibu anak, kurang
gizi dan protein anak,
pemberantasan
penyakit
menular
b. Rawat Inap
Tersedianya pelayanan rawat
inap bagi pasien miskin,
rawat inap kelas III
c. Pelayanan Penunjang
Radiologi: toraz foto
Laboratorium dan bank
darah,
Rehabilitasi
medik:
Fisioterapi
Farmasi: Doen, formularium
Gizi Rawat inap
7. PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (Hospital by Laws)
Dalam rangka melindungi penyelenggaraan rumah sakit, tenaga kesehatan dan melindungi
pasien maka rumah sakit perlu mempunyai peraturan internal rumah sakit yang bisa
disebut hospital by laws. Peraturan tersebut meliputi aturan-aturan berkaitan dengan
Page 8
C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)
8
pelayanan kesehatan, ketenagaan, administrasi dan manajemen. Bentuk peraturan internal
rumah sakit (HBL) yang merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain:
tata tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah
sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia
kedokteran, komete medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses
dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan
kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Bentuk dari Hispital by
laws dapat merupakan Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating Procedure (SOP), Surat
Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU).
Peraturan internal rumah akit (HBL) antara rumah sakit satu dengan yang lainnya tidak
harus sama materi muatannya, hal tersebut tergantung pada: sejarahnya, pendiriannya,
kepemilikannya, situasi dan kondisi yang ada pada rumah sakit tersebut. Namun demikian
peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti
Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang.
Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.
K. MONITORING DAN EVALUASI
1. Standar pelayanan minimal ini wajib dilaksanakan oleh Rumah Sakit
Kabupaten/Kota.
2. Untuk pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi, dapat dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, Bupati/Walikota, DPRD, Gubernur.
3. Pembinaan oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
4. Evaluasi internal dilakukan oleh Komite Medik dalam mutu pelayanan Rumah Sakit.
5. Monitoring dan Evaluasi oleh Tim Akreditasi Rumah Sakit wilayah setempat dan
Dinas Kesehatan Propinsi dilakukan secara berkala.
L. PENUTUP
1. Rumah Sakit Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan fungsinya diharapkan dapat
menjalankan pelayanan yang terjangkau dan merata, serta mengutamakan
kepedulian kepada masyarakat yang tidak mampu.
2. Pedoman ini disusun dan diterbitkan sebagai acuan Rumah Sakit Kabupaten/Kota,
dalam melaksanakan kewenangan minimal yang wajib dilaksanakan sesuai dengan
otonomi bidang kesehatan.
3. Pedoman ini dibuat secara garis besar, selanjutnya mengenai jenis pelayanan
maupun standar secara detail disusun oleh rumah sakit dengan mempertimbangkan
kemampuan rumah sakit dan daerah setempat, ditetapkan oleh Propinsi masing-
masing.
MENTERI KESEHATAN
ttd
Dr. ACHMAD SUJUDI