LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTAPENGANTAR
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) dalam rangka peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selain merupakan tangung jawab Pemerintah juga merupakan hak bagi masyarakat untuk ikut berperan serta. Meskipun masyarakat berhak untuk ikut berperan serta secara nyata seperti mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit, tidaklah berarti bahwa masyarakat diperbolehkan dengan sewenang-wenang atau semau-maunya untuk mendirikan dan menyelenggarakannya.
Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan dan penguasa negara berkewajiban untuk selalu menciptakan dan memelihara ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Dan sebagai negara hukum, setiap bentuk kegiatan yang dilakukan baik oleh Pemerintah sendiri maupun oleh masyarakat harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Berbagai faktor dan aspek yang terkait dengan akibat dari pendirian dan penyelenggaraan suatu kegiatan perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian baik kepada manusia maupun kepada lingkungan hidup sekitarnya. Untuk itu masyarakat harus tunduk dan patuh pada ketentuan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang diatur oleh Pemerintah. Dengan demikian untuk melakukan kegiatan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit harus mengikuti prosedur perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
PENGERTIAN PERIZINAN
Mendapatkan pemahaman tentang perizinan secara komprehensif janganlah terpaku pada satu definisi saja. Berikut ini disampaikan beberapa pengertian perizinan, sebagai berikut:
1. Menurut Lembaga Administrasi Negara
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan. Izin sebagai perbuatan hukum sepihak dari Pemerintah yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi si penerima izin perlu ditetapkan dan diatur dalam peraturan perundangan agar terdapat kepastian dan kejelasan, baik yang menyangkut prosedur, waktu, persyaratan, dan pembiayaan.
2. Menurut Prajudi Atmosudirdjo
Perizinan merupakan perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan ini merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh Pemerintah.
3. Dikompilasi dari pendapat W.F. Prins, E. Utrecht, dan Van Vollenhoven
Perizinan (vergunningen) merupakan :
- perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi suatu hal yang istimewa. (Pengertian Dispensasi dari W.F. Prins)
- bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). (Pengertian Vergunning dari E. Utrecht)
- izin guna menjalankan sesuatu perusahaan dengan leluasa. (Pengertian Lisensi dari W.F. Prins)
- bilamana orang-orang partikelir ( = swasta) setelah berdamai dengan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah. (Pengertian Konsesi dari Van Vollenhoven).
Berdasarkan pengertian perizinan sebagaimana dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan konkritnya yaitu, bahwa perizinan yang diberikan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang, dikeluarkan dalam bentuk suatu keputusan tata usaha negara (beschikking). Keputusan tata usaha negara (beschikking) ini oleh Utrecht menyebutnya ’ketetapan’, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’.
Perbedaan menyebut beschikking dengan ketetapan atau penetapan, oleh Jimly Asshiddiqie, disampaikan gagasan untuk menyeragamkan penyebutannya dengan ’ketetapan’ atau ’keputusan’ bukan penetapan. Beliau berpendapat:
”Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut ‘Keputusan’ atau ‘Ketetapan’, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah ’penetapan’ untuk sebutan bagi keputusan-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi ’Ketetapan’ yang sepadan dengan istilah ’Keputusan’. Sedangkan penetapan adalah bentuk ’gerund’ atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya.”
Perlu disampaikan juga pengertian ketetapan dari beberapa sarjana untuk mendapatkan pemahaman yang luas. Van der Pot dan Van Vollenhoven mengatakan ”Ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan pemerintahan dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan kekuasaannya yang istimewa”. Oleh Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti dijelaskan lebih lanjut definisi ketetapan dari Van der Pot dan Van Vollenhoven tersebut yaitu, bahwa membuat ketetapan itu merupakan perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ketetapan itu melahirkan hak dan/atau kewajiban dan ketetapan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban itu disebut ketetapan positif. Ketetapan itu merupakan perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, maka perbuatan hukum itu harus bersifat publiekrechtelijk yaitu berdasarkan hukum publik, artinya bahwa perbuatan itu harus bersifat memaksa bukan mengatur saja dan perbuatan yang memaksa itu pengaturannya terdapat dalam hukum publik karena ketetapan itu hanya mencerminkan kehendak satu pihak saja, pihak yang memerintah yaitu pihak pemerintah atau administrasi negara. Sedangkan Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ketetapan itu merupakan ”keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara.”
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian ketetapan sebagaimana disampaikan diatas, maka tentu akan timbul pertanyaan, apakah ada ketentuan umum yang mengatur prosedur pembuatan ketetapan / keputusan tata usaha negara. Philipus M. Hadjon, dkk., mengatakan bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang tata cara pembuatan keputusan tata usaha negara. Tiap bidang mempunyai prosedur tersendiri, dan persyaratan tersendiri pula. Dalam bidang perizinan saja masing-masing perizinan mempunyai tata cara dan persyaratan tersendiri. Contoh prosedur izin mendirikan bangunan (IMB) berbeda dengan prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Selanjutnya izin usaha untuk berbagai jenis usaha pun berjalan sendiri-sendiri. Meskipun begitu Hadjon, memberikan petunjuk untuk membuat prosedur keputusan tata usaha negara. Suatu prosedur yang baik hendaknya memenuhi tiga landasan utama hukum administrasi, yaitu landasan negara hukum, landasan demokrasi, landasan instrumental yaitu daya guna (efisiensi, doelmatigheid) dan hasil guna (efektif, doeltreffenheid).
IUS CONSTITUTUM / HUKUM POSITIF PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien, jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian rumah sakit. Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai keputusan.
Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku sampai tulisan ini dibuat, pihak swasta yang akan mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap. Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:
1) Izin Prinsip / Izin Pendirian / Pembangunan Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Masa berlaku izin ini selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun kedepan.
2) Izin Operasional / Izin Penyelenggaraan Sementara Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi. Izin ini berlaku selama 2 (dua) tahun yang diberikan secara pertahun.
3) Izin Tetap / Izin Penyelenggaraan Tetap Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Menteri Kesehatan (teknisnya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik). Masa berlaku izin ini selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memperhatikan ketentuan tentang perizinan saja. Ketentuan lain yang terkait dengan rumah sakit juga harus diperhatikan dan ditaati. Secara garis besar ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 262/Menkes/Per/VII/1979 tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah;
2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 084/Menkes/Per/II/1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik;
3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;
4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/ Menkes/SK/III/1999;
5) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/Menkes/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;
6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;
7) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah;
8) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1410/Menkes/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) –Revisi Kelima;
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
10) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 725/Menkes/E/VI/2004 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
11) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 1425/Menkes/E/XII/2006 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Publik di Lingkungan Departemen Kesehatan;
12) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor 0308/Yanmed/RSKS/PA/SK/IV/1992 tentang Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Swasta di Bidang Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing;
13) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.3.5.5797 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik Spesialis, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.1.5.787 Tahun 1999;
KELENGKAPAN SURAT PERMOHONAN PERIZINAN RUMAH SAKIT
Berdasarkan hukum positif sebagaimana disebut diatas, pihak swasta (yayasan atau badan hukum lain) yang akan mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tata cara dan persyaratan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut sebelum mengajukan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit kepada Menteri Kesehatan u.p. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Pengajuan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit disampaikan dalam bentuk surat permohonan dengan melampirkan kelengkapan berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebagai kelengkapan surat permohonan izin tetap, sebagai berikut:
1) Daftar isian untuk mendirikan Rumah Sakit
2) Rekomendasi dari Dinkes Propinsi
3) BAP RS dari Dinkes Propinsi
4) Surat pernyataan dari pemilik RS bahwa sanggup mentaati ketentuan dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan
4) Izin UU Gangguan (HO)/ UPL-UKL
5) Struktur organisasi RS
6) Daftar ketenagaan medis, paramedis non medis
7) Data Kepegawaian Direktur RS:
Ijazah Dokter
Surat Penugasan;
Surat Izin Praktek (SIP)
Surat Pengangkatan sebagai Direktur oleh pemilik RS
Surat Pernyataan tidak keberatan sebagai Direktur dan penanggung jawab RS (asli bermaterai)
8) Data Kepegawaian Dokter:
Ijazah Dokter
Surat Penugasan
Surat Izin Praktik (SIP)
Surat Pengangkatan sebagai Tenaga Dokter di RS oleh Pemilik (untuk tenaga purna waktu)
Surat Izin atasan langsung untuk tenaga purna waktu
Surat lolos butuh untuk tenaga purna waktu
9) Data Kepegawaian Paramedik dilampiri Ijazah
10) Hasil pemeriksaan air minum ( 6 bulan terakhir)
11) Daftar inventaris medis, penunjang medis dan non medis
12) Daftar tarif pelayanan medik
13) Denah-denah:
Denah situasi
Denah bangunan (1:100)
Denah jaringan listrik
Denah air dan air limbah
15) Akte Notaris pendirian badan hukum
16) Sertifikat tanah.
Kemudian perlu diperhatikan bagi permohonan izin tetap agar melampirkan izin operasional dan izin prinsip. Sedangkan bagi permohonan izin operasional agar melampirkan izin prinsip.
KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
Berdasarkan bentuk pelayanan, rumah sakit dibedakan jenisnya yaitu, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap. Rumah sakit khusus adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik tertentu, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap.
Rumah sakit umum pemerintah diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan:
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis luas.
2. Rumah Sakit Kelas BII
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis terbatas.
3. Rumah Sakit Kelas BI
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 11 (sebelas) macam pelayanan medik spesialistik.
4. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) macam pelayanan medik spesialitik dasar.
5. Rumah Sakit Kelas D
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki pelayanan medik dasar.
Sedangkan untuk rumah sakit umum swasta, klasifikasinya lain lagi. Klasifikasi rumah sakit umum swasta, yaitu:
1. Rumah sakit umum tingkat Utama
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum, spesialistik, dan subspesialistik
2. Rumah sakit umum tingkat Madya
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) pelayanan medik spesialistik
3. Rumah sakit umum tingkat Pratama
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum
PENAMAAN RUMAH SAKIT DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA
Penamaan rumah sakit sering didapati memakai nama yang sama. Penamaan rumah sakit yang memakai nama yang sama dengan nama rumah sakit ditempat lain, adakalanya dapat memberikan pengaruh yang baik / positif, namun tidak jarang dapat menerima akibat yang tidak baik / negatif. Bila sebuah rumah sakit ditempat A bernama X diberitakan dimedia masa keunggulan dan kebaikannya, maka pengaruh pemberitaan itu dapat berpengaruh positif bagi rumah sakit yang memakai nama yang sama meskipun tidak berada dilokasi yang sama. Ini kalau pemberitaannya hal-hal yang baik. Bagaimana halnya bila pemberitaan yang sebaliknya. Tentu bisa-bisa mendatangkan kerugian bagi rumah sakit yang sebenarnya bukan rumah sakit yang dimaksud, hanya namanya saja yang sama. Kalau sudah begitu, bagaimana perlindungan hukumnya !
Pengaturan penamaan rumah sakit memang belum ada ketentuan hukumnya. Bila memperhatikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan berbagai Peraturan / Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur rumah sakit tidak mengatur perihal penamaan dan pendaftaran nama rumah sakit. Namun demikian untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan nama atau resiko yang tidak dapat diduga atas penggunaan nama yang sama, sebaiknya pemilik rumah sakit mendaftarkan nama rumah sakitnya pada instansi yang berwenang.
Penyelenggaraan rumah sakit merupakan kegiatan pelayanan ’jasa’ di bidang kesehatan. Oleh karena itu nama rumah sakit dapat dikategorikan juga sebagai merek jasa. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menjelaskan pengertian tentang merek jasa, yaitu:
”Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”
Penamaan rumah sakit dapat memakai nama-nama apa saja yang disukai oleh pemilik rumah sakit. Namun demikian dalam penamaan rumah sakit perlu memperhatikan etika penamaan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor : 0419/Yan.Kes/RSKS/1984 tanggal 1 September 1984 tentang Pemberian Nama Rumah Sakit, diantaranya menyebutkan bahwa akhir-akhir ini banyak penggunaan nama orang yang masih hidup untuk nama rumah sakit dan mengingat bahwa nama itu merupakan monumen, tapi juga dapat merupakan reklame bagi seseorang (yang menyalahi segi Etik Kedokteran), maka dianjurkan agar pemberian nama rumah sakit tidak mempergunakan nama orang yang masih hidup lebih-lebih bila memakai nama yang punya ataupun yang berpraktek disitu. Dalam memilih nama rumah sakit hendaknya diambil nama dari tokoh pejuang, tokoh pembangunan terutama di bidang kesehatan yang sudah almarhum untuk mengingat dan menghargai jasa-jasanya, dengan menyesuaikan besar kecilnya jasa tokoh tersebut dengan besar/kelasnya rumah sakit atau nama-nama yang netral yang punya arti kasih sayang sesama manusia.
IUS CONSTITUENDUM PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit akan mengalami perubahan. Oleh karena sampai saat ini peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari PP 38/2007 tersebut masih belum ditetapkan, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit masih menggunakan peraturan lama yang masih berlaku.
Disamping itu, Pemerintah juga sampai saat ini telah berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit (RUU Rumah Sakit). Salah satu peluang peraturan-peraturan yang lebih spesifik akan dipayungi oleh RUU Rumah Sakit tersebut, yang dalam waktu tidak lama lagi akan dibahas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
PENUTUP
Melihat pada uraian yang disampaikan diatas, dimana dalam perizinan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit pada akhirnya masih terpusat seluruhnya pada Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan zaman dimana semakin kuatnya arus otonomi daerah pada akhir-akhir ini, banyak tuntutan perubahan pengaturan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit. Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten / kota mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tanpa harus lagi menunggu izin dari Pemerintah Pusat, sehingga bisa lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. Namun demikian hal itu sampai tulisan ini diturunkan, masih belum dapat terwujud karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu. Sehingga berbagai ketentuan peraturan yang disebutkan diatas masih berlaku dan harus ditaati oleh siapa saja yang akan/telah mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit. (rb)
Disajikan oleh: Roberia, SH; Rahmat, SH; Novica Mutiara, SH; dan Sugijanto.
Sabtu, 12 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar