tag:blogger.com,1999:blog-88562611560588925812024-02-08T03:03:33.058-08:00Pelayanan KesehatanBerita_Rantauhttp://www.blogger.com/profile/02411546055443591955noreply@blogger.comBlogger5125tag:blogger.com,1999:blog-8856261156058892581.post-68276013722993625762009-12-13T02:32:00.000-08:002009-12-13T02:33:27.662-08:00PERMENKES NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br /><a href="http://PERMENKES NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004">NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004</a><br />TENTANG<br />PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN<br />PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN<br />MILIK PEMERINTAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan peningkatan mutu dan pemerataan<br />pelayanan kesehatan serta peningkatan efektifitas dan efisiensi<br />pendayagunaan tenaga kesehatan pada sarana pelayanan<br />kesehatan, dibutuhkan status tenaga kesehatan yang fleksibel;<br />b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan<br />Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pengadaan Tenaga<br />Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana Kesehatan Milik<br />Pemerintah;<br />Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok<br />Kepegawaian yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 43<br />Tahun 1999 ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan<br />Lembaran Negara Nomor 3890 );<br />2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran<br />Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />3495) ;<br />3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah<br />(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran<br />Negara Nomor 3839);<br />4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan<br />antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999<br />Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);<br />5. Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan<br />(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 29, Tambahan Lembaran<br />Negara No 3938)<br />6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga<br />Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan<br />Lembaran Negara Nomor 3637);<br />7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pedoman<br />Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor<br />14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);<br /><br />8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan<br />Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran<br />Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);<br />9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/ Per/XII/1986 tentang<br />Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik<br />10.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes /Per /IV/1988 tentang<br />Rumah Sakit ;<br />11.Keputusan Menteri Kesehatan No 1540/MENKES /SK/XII/2002 tentang<br />Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti dan Cara Lain.<br />M E M U T U S K A N :<br />Menetapkan:<br />Pertama : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN PENGADAAN<br />TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA<br />KESEHATAN MILIK PEMERINTAH.<br />Kedua : Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana<br />Kesehatan Milik Pemerintah sebagaimana terlampir dalam lampiran Keputusan<br />ini.<br />Ketiga : Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum kedua dimaksudkan untuk<br />memberikan acuan bagi Gubernur, Bupati/ Walikota atau pimpinan sarana<br />kesehatan dalam melaksanakan pengadaan tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja pada sarana kesehatan milik pemerintah pusat atau<br />pemerintah daerah sesuai kewenangannya.<br />Keempat : Tenaga kesehatan yang dimaksud dalam keputusan ini adalah tenaga<br />kesehatan yang kedudukannya bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan<br />Pegawai Tidak Tetap yang didayagunakan di sarana kesehatan milik<br />Pemerintah dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.<br />Kelima : Sarana kesehatan milik swasta dalam mengadakan perjanjian kerja dengan<br />tenaga kesehatan dapat mengacu pada ketentuan ini.<br />Keenam : Dengan diberlakukannya keputusan ini maka pimpinan sarana kesehatan yang<br />telah mempekerjakan tenaga kesehatan tidak tetap, honorer atau yang<br />dipersamakan harus menyesuaikan dengan keputusan ini setelah masa<br />perjanjian tersebut berakhir.<br /><br />Ketujuh : Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 19 Oktober 2004<br />MENTERI KESEHATAN<br />DR. ACHMAD SUJUDI<br /><br />Lampiran I<br />Peraturan Menteri Kesehatan<br />Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004<br />Tanggal : 19 Oktober 2004<br />PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN<br />PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN<br />MILIK PEMERINTAH<br />1. PENDAHULUAN<br />Untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan dilakukan berbagai upaya<br />kesehatan yang didukung antara lain sumberdaya tenaga kesehatan yang memadai<br />dan merata sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan.<br />Kebijakan pengadaan pegawai mengalami perubahan yang mendasar dengan<br />dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pemerintahan<br />Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang ini maka kewenangan pengangkatan<br />pegawai daerah merupakan kewenangan Pemerintah Daerah masing-masing.<br />Pengangkatan pegawai termasuk tenaga kesehatan di Pusat dan Daerah juga<br />terdapat keterbatasan, disisi lain tenaga kesehatan khususnya tenaga medis dan<br />tenaga keperawatan sangat dibutuhkan di sarana kesehatan tersebut sehingga untuk<br />memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut untuk jangka waktu tertentu<br />diperlukan tenaga kesehatan di luar jalur PNS yaitu melalui pengadaan tenaga<br />kesehatan dengan perjanjian kerja sehingga diperoleh tenaga kesehatan sesuai<br />kebutuhan. Perjanjian kerja ini dapat memberi peluang bagi Pemerintah<br />Daerah/pimpinan sarana kesehatan dalam mengadakan tenaga kesehatan tertentu<br />yang akan dikaryakan sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi.<br />Sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan pedoman perjanjian kerja antara<br />tenaga kesehatan dengan pemberi kerja.<br />2. TUJUAN<br />Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan bagi Gubernur, Bupati/Walikota atau<br />pimpinan sarana kesehatan dalam upaya pengadaan tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja di sarana kesehatan milik Pemerintah untuk meningkatkan pelayanan<br />kesehatan. Sarana kesehatan milik swasta yang mendayagunakan tenaga kesehatan<br />dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu dapat mengacu pada pedoman ini.<br />3. PENGERTIAN<br />Yang dimaksud dengan :<br />a. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggrakan<br />upaya kesehatan;<br /><br />b. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian kerja antara tenaga kesehatan<br />dengan pimpinan sarana kesehatan secara tertulis, dalam waktu tertentu yang<br />memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.<br />c. Pemberi kerja adalah pimpinan sarana kesehatan atau pejabat yang<br />berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.<br />d. Tenaga kesehatan adalah tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan<br />Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang<br />berkedudukan bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap,<br />yang untuk jenis tertentu harus memiliki surat izin praktik/surat izin kerja.<br />4. JENIS PERJANJIAN KERJA<br />Jenis perjanjian kerja dibedakan berdasarkan pada :<br />a. Jumlah tenaga kesehatan yang di kontrak<br />1) Perjanjian Kerja Perorangan<br />Perjanjian kerja perorangan, merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara<br />pemberi kerja dengan seorang tenaga kesehatan<br />2) Perjanjian Kerja Bersama<br />Perjanjian kerja bersama merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara<br />pemberi kerja dengan beberapa tenaga kesehatan sebagai suatu Tim Kerja<br />yang bergerak di bidang kesehatan untuk angka waktu tertentu.<br />b. Jenis pekerjaan<br />1) Paket pelayanan.<br />Adalah Perjanjian kerja yang bertujuan untuk menyelesaikan sejumlah beban<br />kerja tertentu, misalnya pelayanan imunisasi pada daerah tertentu.<br />2) Prestasi .<br />Adalah Perjanjian kerja yang didasarkan pada prestasi (target) yang dicapai.<br />Apabila prestasi melampaui target pelayanan maka tenaga kesehatan yang<br />bersangkutan dapat memperoleh insentif sesuai yang diperja njikan.<br />c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu .<br />1) Jangka waktu perjanjian kerja untuk tenaga kesehatan tertentu yang memiliki<br />surat izin praktik sementara paling lama 18 bulan.<br />2) Sedang untuk tenaga kesehatan tertentu yang telah memiliki surat izin praktik,<br />jangka waktu perjanjian kerja paling lama 2(dua tahun.<br />3) Perpanjangan perjanjian kerja tenaga kesehatan dimaksud butir 2), hanya<br />boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu )tahun<br />dengan ketentuan jumlah seluruh Perjanjian kerja tidak boleh lebih dari tiga<br />tahun.<br />4) Perpanjangan perjanjian kerja dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari<br />sebelum perjanjian kerja berakhir.<br /><br />5. POLA PERJANJIAN KERJA<br />a. Judul ( Heading ) atau Nama Perjanjian<br />Judul perjanjian sebaiknya singkat dan jelas.<br />b. Pembukaan ( Opening )<br />Pembukaan ini merupakan awal dari suatu akta.<br />c. Komparasi / Para Pihak ( Parties )<br />Komparasi merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para<br />pihak yang membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan<br />identitas serta tempat tinggal yang bersangkutan.<br />d. Premise ( Recitals ).<br />Premise atau recitals biasa dipergunakan sebagai pendahuluan (introduction) suatu<br />akta atau pengantar yang menunjukkan maksud utama dan para pihak, dan<br />menyertakan alasan mengapa suatu akta itu dibuat.<br />Premise disebut juga suatu pernyataan yang merupakan konsiderans<br />/pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir suatu perikatan. Penulisan<br />dalam akta biasanya secara baku dimulai dengan kata “bahwa”.<br />e. Isi Perjanjian<br />Isi perjanjian mencakup ketentuan dan persyaratan. Pada bagian ini para pihak<br />mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu, yang<br />merupakan kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis yang sah.<br />Sebagai pokok perjanjian maka diharapkan dapat mencakup dan mengandung<br />semua isi perjanjian sekaligus merupakan isi akta yang memuat secara mendetail<br />mengenai obyek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap<br />mengenai prestasi.<br />Mengenai isi perjanjian dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :<br />1) Unsur esensialia<br />Unsur esensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok<br />sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu<br />perjanjian, sehingga perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak<br />mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini memang<br />ditentukan dan harus ada oleh Undang-Undang karena bila tidak, maka<br />perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak mengikat. Dalam perjanjian kerja hal<br />yang merupakan esensialia adalah pekerjaan dan upah yang diberikan.<br />2) Unsur Naturalia<br />Unsur Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya<br />dicantumkan dalam perjanjian. Namun tanpa pencantuman syarat yang<br />dimaksud itu pun suatu perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu<br />perjanjian menjadi tidak mengikat.<br />3) Unsur Aksidentalia<br />Unsur Aksidentalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi<br />dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud<br />khusus sebagai suatu kepastian.<br /><br />Hal ini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar “asas kebebasan<br />berkontrak” (freedom of contract), asalkan hal tersebut tidak bertentangan<br />dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.<br />f. Klausula ( Clause )<br />Ada hal penting lain yang harus mendapat tempat dalam perjanjian ini. Hal-hal<br />penting yang dimaksudkan itu adalah mengenai berbagai klausula yang acapkali<br />juga muncul dan dimasukkan dalam merumuskan isi perjanjian, sekaligus<br />merupakan bagian yang patut memperoleh perhatian misal kausula force majeure<br />yang dimaksudkan sebagai langkah awal untuk melakukan antisipasi yang<br />ditempuh oleh para pihak yang membuat perjanjian terhadap kejadian yang<br />mungkin timbul dikemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksaan<br />perjanjian.<br />g. Penutup / Testimonium Clause (Closure)<br />Setiap perjanjian tertulis, selalu ditutup dengan kata atau kalimat yang<br />menyatakan bahwa perjanjain itu dibuat dakam jumlah atau rangkap yang<br />diperlukan dan bermaterai cukup, maksudnya telah memenuhi ketentuan yang<br />berlaku misalnya Rp. 6000,- (enam ribu rupiah) dan ditandatangani oleh para<br />pihak atau yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.<br />h. Tanda Tangan (Attestation)<br />Tanda tangan para pihak atau yang mewakili, dan tanda tangan saksi-saksi.<br />Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan perseorangan<br />melainkan badan hukum, maka dibawah tanda tangan juga disebutkan nama dan<br />jabatannya, dilengkapi dengan cap sarana kesehatan di sebelah tanda tangan.<br />i. Lampiran<br />Dalam surat perjanjian tidak jarang dan biasa disertai dengan Lampiran, apabila<br />terdapat hal-hal yang perlu disertakan atau dilekatkan pada perjanjian induk.<br />Lampiran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok atau<br />induk, yang mungkin bila dibuat dalam perjanjian pokok mengalami kesulitan<br />teknis atau memang sengaja dibuat secara terpisah misalnya seperti surat kuasa.<br />6. SYARAT PERJANJIAN KERJA<br />a. kesepakatan kedua belah pihak;<br />b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;<br />c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan<br />d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,<br />kesusilaan, dan peraturan perundang -undangan yang berlaku.<br />7. MATERI MUATAN PERJANJIAN KERJA<br />a. Nama dan alamat sarana kesehatan pemberi kerja<br />b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ tenaga kesehatan.<br />c. Jabatan atau jenis pekerjaan;<br />d. Tempat pekerjaan;<br />e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;<br /><br />f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan tenaga<br />kesehatan .<br />g. Besarnya gaji / upah dan cara pembayarannya<br />h. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja<br />i. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;<br />j. Ketetapan tanggal mulai berlaku dan berakhir serta ditandatangani oleh kedua<br />belah pihak.<br />k. Penyelesaian perselisihan.<br />8 . PENGADAAN<br />Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan pelayanan<br />kesehatan yang prima perlu pertimbangan yang matang melalui prosedur yang<br />komprehensif dari proses analisis kebutuhan tenaga sampai kepada evaluasi<br />kinerjanya. Pertimbangan ini perlu dilakukan disamping untuk mendapatkan tenaga<br />yang sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasinya juga sebagai dasar dalam penetapan<br />butir-butir Perjanjian kerja.<br />Langkah-langkah pengadaan tenaga kesehatan dengan Perjanjian kerja:<br />a. melakukan pendataan tenaga yang dimiliki<br />b. melakukan analisis kebutuhan tenaga .<br />c. menetapkan jenis pekerjaan (spesifikasi)<br />d. menetapkan kebutuhan tenaga berdasarkan jenis dan kualifikasi yang diisusun<br />berdasarkan skala prioritas..<br />e. melaksanakan penyebar luasan informasi.<br />f. melakukan penjaringan peminatan sesuai dengan ketentuan persyaratan yang<br />diberlakukan antara lain seleksi administrasi, seleksi tertulis, wawancara dan<br />psikotest.<br />g. membuat pengumuman hasil seleksi.<br />h. membuat surat Perjanjian kerja .<br />9. HAK<br />a. Hak Pemberi kerja<br />1) pemberi kerja berhak memperoleh jasa dari tenaga kesehatan;<br />2) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak<br />memenuhi kewajibannya.<br />3) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak<br />memenuhi kewajibannya.<br />b. Hak Tenaga Kesehatan<br />1) memperoleh penghasilan/upah ;<br />2) memperoleh pengakuan pengalaman kerja sesuai dengan masa kerja;<br />3) memperoleh tunjangan transport, premi asuransi jiwa dan jaminan<br />pemeliharaan kesehatan sesuai peraturan yang berlaku di sarana kesehatan<br />tersebut;<br />4) memperoleh kesejahteraan/insentif yang ditetapkan oleh pimpinan. misalnya<br />jasa medik, lembur dan lain-lain;<br />5) memperoleh cuti yang ditetapkan oleh pimpinan :<br />a) cuti tahunan lamanya 12 hari kerja bagi tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja lebih dari satu tahun;<br /><br />b) cuti hamil lamanya satu bulan sebelum melahirkan dan satu setengah<br />bulan setelah melahirkan bagi karyawati;<br />c) cuti sakit lamanya berdasarkan atas surat keterangan dokter;<br />d) selama menjalankan cuti hak-hak atas pengahasilan/upah tetap dibayar<br />sebagaimana mestinya.<br />6) menjalankan praktik di luar jam kerja sesuai dengan peraturan perundangundangan<br />yang berlaku;<br />7) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pemberi kerja tidak<br />memenuhi kewajibannya.<br />10. KEWAJIBAN<br />a. Kewajiban Pemberi kerja<br />1) membayarkan penghasilan/upah dan kesejahteraan/insentif tenaga kesehatan<br />sesuai yang diperjanjikan;<br />2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan<br />perundang-undangan yang berlaku;<br />3) melaksanakan ketentuan waktu kerja/lembur sesuai peraturan perundangan<br />yang berlaku;<br />4) memenuhi dan menghormati hak-hak tenaga kesehatan .<br />b. Kewajiban Tenaga Kesehatan .<br />1) untuk tenaga kesehatan tertentu wajib memiliki surat ijin praktik sementara/ surat<br />ijin praktik/surat ijin kerja.<br />2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan perundangundangan<br />yang berlaku<br />3) melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya;<br />11. PEMBINAAN<br />a. Pembinaan adalah suatu kegiatan pemberian petunjuk tentang cara pelaksanaan<br />upaya sesuai dengan ketentuan dan bertujuan mendapatkan kesatuan tindak<br />untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. Kegiatan<br />pembinaan meliputi pengawasan, pengendalian dan penilaian. Pembinaan<br />terhadap tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja secara umum dilakukan oleh<br />organisasi profesi yang bersangkutan dimana tenaga tersebut bekerja.<br />b. Kegiatan pembinaan dalam tujuan peningkatan mutu, antara lain:<br />1) pendidikan berkelanjutan, seminar dan lokakarya;<br />2) pelatihan. penyuluhan hukum dan etika profesi;<br />3) keterampilan pengelolaan program.<br />c. Tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran disiplin dikenakan sanksi<br />berupa:<br />1) teguran lisan ;<br />2) teguran tertulis;<br />3) pemutusan hubungan kerja sebelum berakhirnya batas waktu perjanjian kerja.<br /><br />d. Kepada tenaga kesehatan dilakukan penilaian kinerja setiap 3 (tiga) bulan sekali<br />yang dipergunakan sebagai pertimbangan pemberian penghargaan dan sanksi.<br />12. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN<br />a. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pemberi kerja apabila tenaga<br />kesehatan :<br />1) Tidak sehat jasmani dan/atau rohani.<br />3) Melanggar disiplin berat.<br />4) Melakukan tindak pidana.<br />5) Meninggal dunia<br />6) Selesai masa perjanjian kerja.<br />7) Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan<br />dalam perjanjian kerja.<br />b. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan apabila pihak<br />pemberi kerja :<br />a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah<br />disepakati dalam perjanjian kerja.<br />2) Telah melakukan perbuatan yang tidak layak/baik terhadap tenaga kesehatan<br />tersebut.<br />2. Memberi tugas tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.<br />c. Apabila salah satu pihak memutuskan hubungan kerja secara sepihak sebelum batas<br />waktu perjanjian kerja berakhir sebelum batas waktu yang disepakati maka pihak<br />yang memutuskan hubungan kerja sepihak tersebut agar membayar ganti rugi<br />sesuai kesepakatan.<br />d. Apabila timbul perselisihan antara tenaga kesehatan dengan pemberi kerja akan<br />diselesaikan melalui :<br />a. Musyawarah antara pemberi kerja dengan tenaga kesehatan yang<br />bersangkutan.<br />b. Apabila penyelesaian melalui musyawarah tidak dapat diselesaikan maka<br />diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..<br />13. PENUTUP<br />Pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja disusun berdasarkan<br />kepentingan akan kebutuhan tenaga kesehatan di sarana kesehatan pemerintah yang<br />memuat acuan untuk memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menetapkan<br />kebijakan lebih lanjut dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.<br />MENTERI KESEHATAN<br />DR. ACHMAD SUJUDI<br /><br />Lampiran II<br />Peraturan Menteri Kesehatan<br />Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004<br />Tanggal : 19 Oktober 2004<br />MODEL PENYUSUNAN STRUKTUR GAJI TENAGA KESEHATAN<br />DENGAN PERJANJIAN KERJA<br />1. PENDAHULUAN<br />Tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja merupakan pendayagunaan tenaga<br />kesehatan oleh sarana kesehatan dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.<br />Kedudukannya bukan sebagai PNS maupun Pegawai Tidak Tetap. Oleh karenanya<br />pengaturan hak dan kewajibannya mengacu pada peraturan perundang-undangan di<br />bidang ketenagakerjaan termasuk penetapan struktur gaji dan upah. Model penyusunan<br />struktur gaji ini bertujuan memberikan pedoman dalam penyusunan struktur gaji dan<br />upah yang sistematik pada sarana kesehatan Pemerintah yang mendayagunakan tenaga<br />kesehatan dengan perjanjian kerja agar dapat menjadi acuan.<br />2. KRITERIA<br />Kriteria dalam penyusunan gaji/upah terdiri dari :<br />a. gaji/upah harus berkelayakan dalam arti penghasilan yang diterima mampu memenuhi<br />kebutuhan hidup;<br />b. gaji/upah harus berkeadilan dalam arti penghasilan yang diterima sesuai dengan<br />produk/jasa yang telah diberikan. Sedang produk seorang tenaga kesehatan<br />ditentukan oleh tingkat pendidikannya, pengalaman kerjanya, tanggung jawab dan<br />risiko pekerjaannya.<br />3. KEPENTINGAN PRAKTIS<br />Untuk kepentingan praktis,seperti halnya dalam penerimaan CPNS maka dalam<br />penyusunan gaji/upah ini, setiap tenaga kesehatan dipandang belum memiliki<br />pengalaman kerja. Sehingga apa yang ditetapkan disini sebenarnya adalah gaji pokok.<br />Untuk memberi penghargaan pada tenaga kesehatan yang ditempatkan dalam satu<br />jabatan teknis/fungsional, maka pada gaji pokok dapat diberikan tunjangan jabatan<br />fungsional. Sehingga penghasilan tenaga kersehatan terdiri dari : gaji pokok + tunjangan<br />jabatan + kesejahteraan, seperti uang transport, dan lain-lain.<br />4. KEBUTUHAN BIAYA HIDUP<br />Untuk memperoleh gambaran bagaimana selayaknya gaji pokok/upah dimasing-masing<br />tingkat jabatan maka perlu ditentukan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi<br />output seorang tenaga kesehatan yang terdiri dari tingkat pendidikan; pengalaman kerja,<br />tanggung jawab serta faktor risiko pekerjaan. Pada penyusunan gaji pokok ini<br />sebagaimana yang terdapat dilingkungan pengangkatan pertama CPNS, setiap orang<br />dianggap belum memiliki pengalaman kerja, dengan faktor risiko pekerjaan minimal<br />terkecuali bagi tenaga kesehatan yang ditempatkan didaerah terpencil akan diberikan<br />tunjangan pengabdian dan faktor tanggung jawab diejawantahkan dalam tunjangan<br />jabatan.<br /><br />Dengan demikian faktor tingkat pendidikan yang menentukan besar kecilnya gaji pokok<br />tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja, seperti terdapat dilingkungan PNS<br />sebagaimana terlihat pada tabel 1.<br />Tabel 1. Pengangkatan pertama dalam golongan ruang pangkat PNS<br />Namun berbeda dengan PNS dalam penyusunan gaji pokok, disini jenjang<br />pendidikan diberi skoring seperti terlihat pada tabel 2.<br />Tabel 2.<br />Skoring berdasarkan tingkat pendidikan.<br />No. Tingkat pendidikan Golongan Ruang Pangkat<br />1 SMU II/a<br />2 Akademi ( D3) II/b<br />3 Sarjana ( S1) III/a<br />4 S2/ Spesialis III/a<br />No Tingkat Pendidikan Skoring pada setiap tingkat<br />pendidikan<br />1 SMU 140<br />2 D2 150<br />3 D3 160<br />4 Sarjana ( S1 ) 170<br />5 Dr, Drg, Apoteker 180<br />6 Pasca Sarjana (S2) 190<br />7 Spesialis 200<br /><br />5. GAJI POKOK<br />Tabel 3.<br />Gaji Pokok Masing -Masing Tingkat Pendidikan<br />6. TUNJANGAN<br />a. ..Tunjangan adalah tambahan penghasilan diluar gaji pokok sebagai akibat tenaga<br />kesehatan mengemban tanggung jawab atau menanggung risiko pekerjaan.<br />Berbeda dengan PNS pada gaji pokok tenaga Perjanjian kerja tidak diberikan<br />tunjangan keluarga, karena perhitungan UMR telah meliputi perhitungan kebutuhan<br />satu keluarga. Demikian pula pengalaman kerja yang dalam sistim PNS disebut<br />pengalaman kerja maka pada tenaga Perjanjian kerja penghargaan terhadap<br />pengalaman kerja diejawantahkan kedalam kenaikan gaji pokok setelah menanda<br />tangani kontrak yang kedua atau ketiga.<br />Besarnya tunjangan jabatan atau tunjangan pengabdian didaerah terpencil<br />setinggi- tingginya sama dengan besarnya gaji pokok. Jadi berbeda dengan<br />tunjangan jabatan PNS yang besarnya jauh lebih besar dari gaji pokok.<br />Tunjangan yang disarankan :<br />1) Tunjangan jabatan untuk setiap jabatan : 0,2 x Gaji Pokok *);<br />2) Tunjangan pengabdian untuk setiap jabatan :0,8 - 1 x Gaji Pokok.<br />*) Untuk memberikan tunjangan jabatan perlu ditetapkan jabatan-jabatan teknis/<br />fungsional yang manakah yang menerima tunjangan. Misalnya, tenaga teknis/<br />fungsional yang setingkat dengan SMU keatas.<br />Tunjangan kesejahteraan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja dapat berupa<br />tunjangan materiil berupa uang dan tunjangan non materiil ( berupa fasilitas ). Apabila<br />tunjangan materiil yang diberikan, maka tunjangan diberikan bersamaan dengan<br />pembayaran gaji, karena tunjangan tersebut bersifat tetap.<br />No Tingkat Pendidikan Gaji Pokok<br />1 SMU = 1,4 UMR<br />2 D2 = 1, 5 UMR<br />3 D3 = 1, 6 UMR<br />4 S1 = 1,70 UMR<br />5 Dr, Drg, Apoteker = 1,80 UMR<br />6 S2 = 1,90 UMR<br />7 Spesialis = 2.00 UMR<br /><br />Sehingga penghasilan tenaga kesehatan terdiri dari :<br />Gaji Pokok + Tunjangan Jabatan/ Tunjangan Pengabdian + Tunjangan<br />Kesejahteraan.<br />7. PEMELIHARAAN KESEHATAN<br />Pemeliharaan kesehatan diintegrasikan kedalam tunjangan kesejahteraan apabila<br />tenaga kesehatan yang bersangkutan bukan peserta oleh asuransi kesehatan.<br />Disini, setiap terjadinya peristiwa sakit, tenaga kesehatan membayar sendiri biaya<br />pengobatannya. Sebaliknya apabila tenaga kesehatn tersebut. tidak sakit maka<br />pemberian tunjangan kesehatan tersebut merupakan keuntungan yang menjadi<br />milik tenaga kesehatan, diberikan setiap bulan bersamaan dengan pembayaran<br />gaji.<br />Namun demikian, untuk menghindari biaya kesehatan yang tinggi seyogyanya<br />tenaga kesehatan tersebut menjadi peserta asuransi kesehatan, pembayaran premi<br />asuransi dapat ditanggung oleh sarana kesehatan yang bersangkutan.<br />8. KERJA LEMBUR<br />Tenaga kesehatan berhak atas uang lembur apabila bekerja melampaui jam kerja<br />yang ditentukan. Besarnya uang lembur / jam dihitung dari gaji pokok dibagi 4 x 37,3<br />jam = gaji pokok / 149 jam.<br />Banyaknya jam lembur / bulan merupakan jumlah dari kerja lembur harian.<br />Ketentuan lembur dalam pasal 78 ayat(1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003<br />tetntang Ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3<br />(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas )jam dalam 1 (satu) minggu dan<br />harus dengan persetujuan yang bersangkutan.<br />9. INSENTIF<br />Insentif adalah pemberian imbalan pada tenaga kesehatan atas hasil kerja yang<br />melampaui rata-rata, dalam rangka meningkatkan output sarana kesehatan. Misalnya<br />jika secara rata-rata seorang tenaga kesehatan outputnya dalam 7 jam kerja =350<br />unit, maka ia dirangsang dengan memberikan insentif agar menghasilkan 400 unit.<br />Dengan demikian sistim insentif berbeda dengan kerja lembur. Penetapan insentif ini<br />tidak mudah karena sulit menetapkan parameternya. Insentif hanya diberikan pada<br />tenaga-tenaga tertentu yang termasuk dalam program insentif. Jadi berbeda<br />pengertiannya dengan insentif yang dikenal dilingkungan pegawai dimana setiap<br />orang memperoleh sejumlahuang tertentu yang tujuan utamanya untuk memperbaiki<br />kesejahteraan.<br />Kriteria pemberian insentif :<br />a. ada beban kerja yang harus segera diselesaikan, yang dituangkan dalam program<br />insentif untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka waktu.<br />b. ada parameter yang jelas;<br />c. tenaga kesehatan yang masuk program adalah orang-orang terpilih.<br />Besaran insentif tidak boleh melebih gaji pokok perbulan. Pembayaran insentif<br />dibayarkan diluar pembayaran gaji.<br /><br />10. CONTOH PERHITUNGAN GAJITENAGA DENGAN PERJANJIAN KERJA<br />a. DAERAH REGIONAL DKI<br />PERAWAT<br />Seorang perawat, pendidikan setingkat SMU<br />UMR DKI = Rp. 426.250,-<br />1. Gaji pokok perawat : 1,4 x Rp. 426.250 = Rp. 596. 750,-<br />2. Tunjangan jabatan : 0,2 x Rp. 596.750 = Rp. 119. 350,-(+)<br />fungsional<br />3. PENGHASILAN : Rp. 716. 100,-<br />DOKTER<br />1. Gaji Pokok : 1,8 x Rp. 426.250 = Rp. 767.250,-<br />2. Tunjngan jabatan dokter : 0,2 x Rp. 767.250 = Rp. 153.450,-(+)<br />3. PENGHASILAN : Rp. 920. 700,-<br />BIDAN ( D2)<br />1. Gaji Pokok : 1,5 x Rp. 426. 250 = Rp. 639. 375,-<br />2. Tunjangan jab. Bidan : 0,2 x Rp. 639. 375 = Rp. 127. 875,- (+)<br />3. PENGHASILAN : Rp. 767.250,-<br />b. DAERAH TERPENCIL, KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU.<br />DOKTER<br />1. Gaji Pokok = Rp. 767.250,-<br />2. Tunjangan jabatan dokter : = Rp. 153.450,-<br />3. Tunjangan Pengabdian 0,8 x Rp 767.250,- = Rp. 613.800,- (+)<br />4. PENGHASILAN : Rp. 1.534.500,-<br /><br />PERAWAT<br />1. Gaji Pokok : = Rp. 596. 750,-<br />2. Tunjangan jab. perawat : = Rp. 119. 350,-<br />3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 596.750 = Rp. 477.400,- (+)<br />4. PENGHASILAN : Rp. 1.193.500,-<br />BIDAN<br />1. Gaji Pokok = Rp. 639. 375,-<br />2. Tunjangan jab. bidan : = Rp. 127. 875,-<br />3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 639.375 = Rp. 511. 500,-(+)<br />4. PENGHASILAN : Rp. 1. 278.750,-<br />11. CONTOH PERHITUNGAN I GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL<br />DOKTER<br />Golongan III/a, 1 tahun masa kerja, keluarga : 1 istri/suami + 1 anak.<br />1. Gaji Pokok : = Rp. 760. 800,-<br />2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 760.800 = Rp. 91. 296,-<br />(+)<br />3. Gaji Kotor : Rp. 852. 096,-<br />4. Iuran wajib 10 % : 0,1 x Rp. 852. 096 = Rp. 85. 210,-<br />(-)<br />5. Gaji bersih : Rp. 766.886,-<br />6. Tunjangan tenaga kesehatan sarjana<br />Golongan III : Rp. 281.300,-<br />(+)<br />7. PENGHASILAN : Rp. 1.048. 186,-<br />PERAWAT<br />Perawat golongan II/a; Masa Kerja : 1 Tahun; Berkeluarga : 1 istri/suami+ 1 anak.<br />1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-<br />2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 628.409 = Rp. 75. 409,- (+)<br />3. Gaji Kotor : Rp. 703. 818,-<br />4. Iuran Wajib 10 % : 0,1 x Rp. 703.818 = Rp. 70. 382,-<br />(-)<br />5. Gaji Bersih : Rp. 633. 436,-<br />6. Tunjangan tenaga keperawatan Gol. II : Rp. 112. 500,-<br />(+)<br />7. PENGHASILAN : Rp. 745. 936,-<br /><br />BIDAN ( D2 )<br />Bidan gol. II/a; Masa kerja : 1 tahun; Belum berkeluarga.<br />1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-<br />2. Iuran wajib : 0,1 x Rp. 628. 409 = Rp. 62. 841,-<br />(-)<br />3. Gaji bersih : Rp. 565. 568,-<br />4. Tunjangan tenaga keperawatan gol II : Rp. 112. 500,-<br />(+)<br />5. PENGHASILAN : Rp. 678. 068,-<br />Bagi PNS yang bekerja didaerah terpencil tidak ada tunjangan pengabdian, untuk<br />daerah terpencil, terkecuali di Propinsi Papua, atau dalam status PTT.<br />12. PENUTUP<br />1. Penyusunan struktur gaji tenaga kesehatan Perjanjian kerja menggunakan<br />metoda evaluasi jabatan, yakni suatu metoda yang memperbandingkan nilai-nilai<br />yang terdapat dalam jabatan. Untuk itu ditentukan terlebih dahulu faktor<br />jabatan yang akan diperbandingkan, seperti :<br />a. tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kesulitan pekerjaan yang<br />terdapat dalam jabatan;<br />b. pengalaman kerja;<br />c. tanggung jawab yang terdapat dalam jabatan;<br />d. risiko.<br />Dalam penyusunan gaji pokok faktor pengalaman kerja belum diperhitungkan<br />karena tenaga kesehatan yang didayagunakan belum memiliki pengalaman<br />kerja. Sedangkan faktor tanggung jawab dan risiko dimasukkan kedalam<br />tunjangan jabatan, yakni tambahan penghasilan karena menanggung beban<br />yang lebih besar.<br />2. Langkah berikutnya adalah memberi skoring setiap tingkat pendidikan, dengan<br />ketentuan bahwa setiap tiga tahun akan bernilai 20 ( dua puluh ).<br />Setelah skoring ditetapkan maka dihitung gaji pokok masing-masing kategori<br />tenaga dengan mengkalikan dengan UMR.<br />3. Besarnya penghasilan tenaga kesehatan dimasing-masing region (daerah)<br />tergantung dari tinggi rendahnya UMR. Tunjangan jabatan diberikan sebesar <br />% dari gaji pokok, sebagai penghargaan terhadap tanggung jawab tenaga<br />kesehatan.. Tunjangan pengabdian didaerah terpencil seperti Pulau Seribu<br />diberikan sebesar 80 % dari gaji pokok, karena daerah ini tidak terlalu jauh dari<br />Jakarta. Berbeda didaerah pedalam Irian Jaya atau Maluku yang sama sekali<br />terisolir sehingga tunjangan pengabdian yang diberikan sebesar 100 % gaji<br />pokok.<br /><br />4. Struktur gaji tenaga kesehatan perjanjian kerja terdiri dari :<br />a. Gaji Pokok;<br />b. Tunjangan dapat terdiri atas :<br />1. tunjangan jabatan;<br />2. tunjangan pengabdian;<br />3. tunjangan kesejahteraan;<br />4. kerja lembur;<br />5. insentif;<br />6. iuran premi asuransi kesehatan.<br />MENTERI KESEHATAN<br />DR. ACHMAD SUJUDIBerita_Rantauhttp://www.blogger.com/profile/02411546055443591955noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8856261156058892581.post-53937080199442377122009-12-12T03:32:00.000-08:002009-12-12T03:33:10.876-08:00LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTAPENGANTARLEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTAPENGANTAR<br /><br />Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) dalam rangka peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selain merupakan tangung jawab Pemerintah juga merupakan hak bagi masyarakat untuk ikut berperan serta. Meskipun masyarakat berhak untuk ikut berperan serta secara nyata seperti mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit, tidaklah berarti bahwa masyarakat diperbolehkan dengan sewenang-wenang atau semau-maunya untuk mendirikan dan menyelenggarakannya.<br />Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan dan penguasa negara berkewajiban untuk selalu menciptakan dan memelihara ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Dan sebagai negara hukum, setiap bentuk kegiatan yang dilakukan baik oleh Pemerintah sendiri maupun oleh masyarakat harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Berbagai faktor dan aspek yang terkait dengan akibat dari pendirian dan penyelenggaraan suatu kegiatan perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian baik kepada manusia maupun kepada lingkungan hidup sekitarnya. Untuk itu masyarakat harus tunduk dan patuh pada ketentuan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang diatur oleh Pemerintah. Dengan demikian untuk melakukan kegiatan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit harus mengikuti prosedur perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah.<br /><br />PENGERTIAN PERIZINAN<br />Mendapatkan pemahaman tentang perizinan secara komprehensif janganlah terpaku pada satu definisi saja. Berikut ini disampaikan beberapa pengertian perizinan, sebagai berikut:<br />1. Menurut Lembaga Administrasi Negara<br />Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan. Izin sebagai perbuatan hukum sepihak dari Pemerintah yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi si penerima izin perlu ditetapkan dan diatur dalam peraturan perundangan agar terdapat kepastian dan kejelasan, baik yang menyangkut prosedur, waktu, persyaratan, dan pembiayaan.<br />2. Menurut Prajudi Atmosudirdjo<br />Perizinan merupakan perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan ini merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh Pemerintah.<br />3. Dikompilasi dari pendapat W.F. Prins, E. Utrecht, dan Van Vollenhoven<br />Perizinan (vergunningen) merupakan :<br />- perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi suatu hal yang istimewa. (Pengertian Dispensasi dari W.F. Prins)<br />- bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). (Pengertian Vergunning dari E. Utrecht)<br />- izin guna menjalankan sesuatu perusahaan dengan leluasa. (Pengertian Lisensi dari W.F. Prins)<br />- bilamana orang-orang partikelir ( = swasta) setelah berdamai dengan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah. (Pengertian Konsesi dari Van Vollenhoven).<br />Berdasarkan pengertian perizinan sebagaimana dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan konkritnya yaitu, bahwa perizinan yang diberikan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang, dikeluarkan dalam bentuk suatu keputusan tata usaha negara (beschikking). Keputusan tata usaha negara (beschikking) ini oleh Utrecht menyebutnya ’ketetapan’, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’.<br />Perbedaan menyebut beschikking dengan ketetapan atau penetapan, oleh Jimly Asshiddiqie, disampaikan gagasan untuk menyeragamkan penyebutannya dengan ’ketetapan’ atau ’keputusan’ bukan penetapan. Beliau berpendapat:<br />”Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut ‘Keputusan’ atau ‘Ketetapan’, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah ’penetapan’ untuk sebutan bagi keputusan-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi ’Ketetapan’ yang sepadan dengan istilah ’Keputusan’. Sedangkan penetapan adalah bentuk ’gerund’ atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya.”<br />Perlu disampaikan juga pengertian ketetapan dari beberapa sarjana untuk mendapatkan pemahaman yang luas. Van der Pot dan Van Vollenhoven mengatakan ”Ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan pemerintahan dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan kekuasaannya yang istimewa”. Oleh Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti dijelaskan lebih lanjut definisi ketetapan dari Van der Pot dan Van Vollenhoven tersebut yaitu, bahwa membuat ketetapan itu merupakan perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ketetapan itu melahirkan hak dan/atau kewajiban dan ketetapan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban itu disebut ketetapan positif. Ketetapan itu merupakan perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, maka perbuatan hukum itu harus bersifat publiekrechtelijk yaitu berdasarkan hukum publik, artinya bahwa perbuatan itu harus bersifat memaksa bukan mengatur saja dan perbuatan yang memaksa itu pengaturannya terdapat dalam hukum publik karena ketetapan itu hanya mencerminkan kehendak satu pihak saja, pihak yang memerintah yaitu pihak pemerintah atau administrasi negara. Sedangkan Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ketetapan itu merupakan ”keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara.”<br />Berdasarkan penjelasan tentang pengertian ketetapan sebagaimana disampaikan diatas, maka tentu akan timbul pertanyaan, apakah ada ketentuan umum yang mengatur prosedur pembuatan ketetapan / keputusan tata usaha negara. Philipus M. Hadjon, dkk., mengatakan bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang tata cara pembuatan keputusan tata usaha negara. Tiap bidang mempunyai prosedur tersendiri, dan persyaratan tersendiri pula. Dalam bidang perizinan saja masing-masing perizinan mempunyai tata cara dan persyaratan tersendiri. Contoh prosedur izin mendirikan bangunan (IMB) berbeda dengan prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Selanjutnya izin usaha untuk berbagai jenis usaha pun berjalan sendiri-sendiri. Meskipun begitu Hadjon, memberikan petunjuk untuk membuat prosedur keputusan tata usaha negara. Suatu prosedur yang baik hendaknya memenuhi tiga landasan utama hukum administrasi, yaitu landasan negara hukum, landasan demokrasi, landasan instrumental yaitu daya guna (efisiensi, doelmatigheid) dan hasil guna (efektif, doeltreffenheid).<br /><br />IUS CONSTITUTUM / HUKUM POSITIF PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT<br />Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien, jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian rumah sakit. Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai keputusan.<br />Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku sampai tulisan ini dibuat, pihak swasta yang akan mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap. Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:<br />1) Izin Prinsip / Izin Pendirian / Pembangunan Rumah Sakit<br />Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Masa berlaku izin ini selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun kedepan.<br />2) Izin Operasional / Izin Penyelenggaraan Sementara Rumah Sakit<br />Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi. Izin ini berlaku selama 2 (dua) tahun yang diberikan secara pertahun.<br />3) Izin Tetap / Izin Penyelenggaraan Tetap Rumah Sakit<br />Izin ini diperoleh dari Menteri Kesehatan (teknisnya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik). Masa berlaku izin ini selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.<br />Pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memperhatikan ketentuan tentang perizinan saja. Ketentuan lain yang terkait dengan rumah sakit juga harus diperhatikan dan ditaati. Secara garis besar ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati tersebut, diantaranya sebagai berikut:<br />1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 262/Menkes/Per/VII/1979 tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah;<br />2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 084/Menkes/Per/II/1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik;<br />3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;<br />4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/ Menkes/SK/III/1999;<br />5) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/Menkes/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;<br />6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;<br />7) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah;<br />8) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1410/Menkes/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) –Revisi Kelima;<br />9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;<br />10) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 725/Menkes/E/VI/2004 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;<br />11) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 1425/Menkes/E/XII/2006 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Publik di Lingkungan Departemen Kesehatan;<br />12) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor 0308/Yanmed/RSKS/PA/SK/IV/1992 tentang Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Swasta di Bidang Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing;<br />13) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.3.5.5797 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik Spesialis, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.1.5.787 Tahun 1999;<br /><br />KELENGKAPAN SURAT PERMOHONAN PERIZINAN RUMAH SAKIT<br />Berdasarkan hukum positif sebagaimana disebut diatas, pihak swasta (yayasan atau badan hukum lain) yang akan mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tata cara dan persyaratan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut sebelum mengajukan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit kepada Menteri Kesehatan u.p. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.<br />Pengajuan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit disampaikan dalam bentuk surat permohonan dengan melampirkan kelengkapan berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebagai kelengkapan surat permohonan izin tetap, sebagai berikut:<br />1) Daftar isian untuk mendirikan Rumah Sakit<br />2) Rekomendasi dari Dinkes Propinsi<br />3) BAP RS dari Dinkes Propinsi<br />4) Surat pernyataan dari pemilik RS bahwa sanggup mentaati ketentuan dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan<br />4) Izin UU Gangguan (HO)/ UPL-UKL<br />5) Struktur organisasi RS<br />6) Daftar ketenagaan medis, paramedis non medis<br />7) Data Kepegawaian Direktur RS:<br /> Ijazah Dokter<br /> Surat Penugasan;<br /> Surat Izin Praktek (SIP)<br /> Surat Pengangkatan sebagai Direktur oleh pemilik RS<br /> Surat Pernyataan tidak keberatan sebagai Direktur dan penanggung jawab RS (asli bermaterai)<br />8) Data Kepegawaian Dokter:<br /> Ijazah Dokter<br /> Surat Penugasan<br /> Surat Izin Praktik (SIP)<br /> Surat Pengangkatan sebagai Tenaga Dokter di RS oleh Pemilik (untuk tenaga purna waktu)<br /> Surat Izin atasan langsung untuk tenaga purna waktu<br /> Surat lolos butuh untuk tenaga purna waktu<br />9) Data Kepegawaian Paramedik dilampiri Ijazah<br />10) Hasil pemeriksaan air minum ( 6 bulan terakhir)<br />11) Daftar inventaris medis, penunjang medis dan non medis<br />12) Daftar tarif pelayanan medik<br />13) Denah-denah:<br /> Denah situasi<br /> Denah bangunan (1:100)<br /> Denah jaringan listrik<br /> Denah air dan air limbah<br />15) Akte Notaris pendirian badan hukum<br />16) Sertifikat tanah.<br /><br />Kemudian perlu diperhatikan bagi permohonan izin tetap agar melampirkan izin operasional dan izin prinsip. Sedangkan bagi permohonan izin operasional agar melampirkan izin prinsip.<br /><br />KLASIFIKASI RUMAH SAKIT<br />Berdasarkan bentuk pelayanan, rumah sakit dibedakan jenisnya yaitu, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap. Rumah sakit khusus adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik tertentu, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap.<br />Rumah sakit umum pemerintah diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan:<br />1. Rumah Sakit Kelas A<br />Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis luas.<br />2. Rumah Sakit Kelas BII<br />Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis terbatas.<br />3. Rumah Sakit Kelas BI<br />Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 11 (sebelas) macam pelayanan medik spesialistik.<br />4. Rumah Sakit Kelas C<br />Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) macam pelayanan medik spesialitik dasar.<br />5. Rumah Sakit Kelas D<br />Rumah sakit tipe ini minimal memiliki pelayanan medik dasar.<br />Sedangkan untuk rumah sakit umum swasta, klasifikasinya lain lagi. Klasifikasi rumah sakit umum swasta, yaitu:<br />1. Rumah sakit umum tingkat Utama<br />Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum, spesialistik, dan subspesialistik<br />2. Rumah sakit umum tingkat Madya<br />Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) pelayanan medik spesialistik<br />3. Rumah sakit umum tingkat Pratama<br />Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum<br /><br />PENAMAAN RUMAH SAKIT DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA<br />Penamaan rumah sakit sering didapati memakai nama yang sama. Penamaan rumah sakit yang memakai nama yang sama dengan nama rumah sakit ditempat lain, adakalanya dapat memberikan pengaruh yang baik / positif, namun tidak jarang dapat menerima akibat yang tidak baik / negatif. Bila sebuah rumah sakit ditempat A bernama X diberitakan dimedia masa keunggulan dan kebaikannya, maka pengaruh pemberitaan itu dapat berpengaruh positif bagi rumah sakit yang memakai nama yang sama meskipun tidak berada dilokasi yang sama. Ini kalau pemberitaannya hal-hal yang baik. Bagaimana halnya bila pemberitaan yang sebaliknya. Tentu bisa-bisa mendatangkan kerugian bagi rumah sakit yang sebenarnya bukan rumah sakit yang dimaksud, hanya namanya saja yang sama. Kalau sudah begitu, bagaimana perlindungan hukumnya !<br />Pengaturan penamaan rumah sakit memang belum ada ketentuan hukumnya. Bila memperhatikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan berbagai Peraturan / Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur rumah sakit tidak mengatur perihal penamaan dan pendaftaran nama rumah sakit. Namun demikian untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan nama atau resiko yang tidak dapat diduga atas penggunaan nama yang sama, sebaiknya pemilik rumah sakit mendaftarkan nama rumah sakitnya pada instansi yang berwenang.<br />Penyelenggaraan rumah sakit merupakan kegiatan pelayanan ’jasa’ di bidang kesehatan. Oleh karena itu nama rumah sakit dapat dikategorikan juga sebagai merek jasa. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menjelaskan pengertian tentang merek jasa, yaitu:<br />”Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”<br />Penamaan rumah sakit dapat memakai nama-nama apa saja yang disukai oleh pemilik rumah sakit. Namun demikian dalam penamaan rumah sakit perlu memperhatikan etika penamaan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor : 0419/Yan.Kes/RSKS/1984 tanggal 1 September 1984 tentang Pemberian Nama Rumah Sakit, diantaranya menyebutkan bahwa akhir-akhir ini banyak penggunaan nama orang yang masih hidup untuk nama rumah sakit dan mengingat bahwa nama itu merupakan monumen, tapi juga dapat merupakan reklame bagi seseorang (yang menyalahi segi Etik Kedokteran), maka dianjurkan agar pemberian nama rumah sakit tidak mempergunakan nama orang yang masih hidup lebih-lebih bila memakai nama yang punya ataupun yang berpraktek disitu. Dalam memilih nama rumah sakit hendaknya diambil nama dari tokoh pejuang, tokoh pembangunan terutama di bidang kesehatan yang sudah almarhum untuk mengingat dan menghargai jasa-jasanya, dengan menyesuaikan besar kecilnya jasa tokoh tersebut dengan besar/kelasnya rumah sakit atau nama-nama yang netral yang punya arti kasih sayang sesama manusia.<br /><br />IUS CONSTITUENDUM PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT<br />Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit akan mengalami perubahan. Oleh karena sampai saat ini peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari PP 38/2007 tersebut masih belum ditetapkan, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit masih menggunakan peraturan lama yang masih berlaku.<br />Disamping itu, Pemerintah juga sampai saat ini telah berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit (RUU Rumah Sakit). Salah satu peluang peraturan-peraturan yang lebih spesifik akan dipayungi oleh RUU Rumah Sakit tersebut, yang dalam waktu tidak lama lagi akan dibahas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).<br /><br /><br />PENUTUP<br />Melihat pada uraian yang disampaikan diatas, dimana dalam perizinan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit pada akhirnya masih terpusat seluruhnya pada Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan zaman dimana semakin kuatnya arus otonomi daerah pada akhir-akhir ini, banyak tuntutan perubahan pengaturan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit. Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten / kota mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tanpa harus lagi menunggu izin dari Pemerintah Pusat, sehingga bisa lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. Namun demikian hal itu sampai tulisan ini diturunkan, masih belum dapat terwujud karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu. Sehingga berbagai ketentuan peraturan yang disebutkan diatas masih berlaku dan harus ditaati oleh siapa saja yang akan/telah mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit. (rb)<br /><br />Disajikan oleh: Roberia, SH; Rahmat, SH; Novica Mutiara, SH; dan Sugijanto.Berita_Rantauhttp://www.blogger.com/profile/02411546055443591955noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8856261156058892581.post-34887705015304568792009-12-12T03:05:00.001-08:002009-12-12T03:05:55.226-08:00PERMENKES NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004TENTANG PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN MILIK PEMERINTAH1<br />PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004<br />TENTANG<br />PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN<br />PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN<br />MILIK PEMERINTAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan peningkatan mutu dan pemerataan<br />pelayanan kesehatan serta peningkatan efektifitas dan efisiensi<br />pendayagunaan tenaga kesehatan pada sarana pelayanan<br />kesehatan, dibutuhkan status tenaga kesehatan yang fleksibel;<br />b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan<br />Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pengadaan Tenaga<br />Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana Kesehatan Milik<br />Pemerintah;<br />Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok<br />Kepegawaian yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 43<br />Tahun 1999 ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan<br />Lembaran Negara Nomor 3890 );<br />2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran<br />Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />3495) ;<br />3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah<br />(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran<br />Negara Nomor 3839);<br />4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan<br />antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999<br />Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);<br />5. Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan<br />(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 29, Tambahan Lembaran<br />Negara No 3938)<br />6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga<br />Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan<br />Lembaran Negara Nomor 3637);<br />7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pedoman<br />Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor<br />14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);<br />2<br />8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan<br />Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran<br />Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);<br />9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/ Per/XII/1986 tentang<br />Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik<br />10.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes /Per /IV/1988 tentang<br />Rumah Sakit ;<br />11.Keputusan Menteri Kesehatan No 1540/MENKES /SK/XII/2002 tentang<br />Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti dan Cara Lain.<br />M E M U T U S K A N :<br />Menetapkan:<br />Pertama : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN PENGADAAN<br />TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA<br />KESEHATAN MILIK PEMERINTAH.<br />Kedua : Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana<br />Kesehatan Milik Pemerintah sebagaimana terlampir dalam lampiran Keputusan<br />ini.<br />Ketiga : Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum kedua dimaksudkan untuk<br />memberikan acuan bagi Gubernur, Bupati/ Walikota atau pimpinan sarana<br />kesehatan dalam melaksanakan pengadaan tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja pada sarana kesehatan milik pemerintah pusat atau<br />pemerintah daerah sesuai kewenangannya.<br />Keempat : Tenaga kesehatan yang dimaksud dalam keputusan ini adalah tenaga<br />kesehatan yang kedudukannya bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan<br />Pegawai Tidak Tetap yang didayagunakan di sarana kesehatan milik<br />Pemerintah dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.<br />Kelima : Sarana kesehatan milik swasta dalam mengadakan perjanjian kerja dengan<br />tenaga kesehatan dapat mengacu pada ketentuan ini.<br />Keenam : Dengan diberlakukannya keputusan ini maka pimpinan sarana kesehatan yang<br />telah mempekerjakan tenaga kesehatan tidak tetap, honorer atau yang<br />dipersamakan harus menyesuaikan dengan keputusan ini setelah masa<br />perjanjian tersebut berakhir.<br />3<br />Ketujuh : Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 19 Oktober 2004<br />MENTERI KESEHATAN<br />DR. ACHMAD SUJUDI<br />4<br />Lampiran I<br />Peraturan Menteri Kesehatan<br />Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004<br />Tanggal : 19 Oktober 2004<br />PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN<br />PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN<br />MILIK PEMERINTAH<br />1. PENDAHULUAN<br />Untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan dilakukan berbagai upaya<br />kesehatan yang didukung antara lain sumberdaya tenaga kesehatan yang memadai<br />dan merata sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan.<br />Kebijakan pengadaan pegawai mengalami perubahan yang mendasar dengan<br />dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pemerintahan<br />Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang ini maka kewenangan pengangkatan<br />pegawai daerah merupakan kewenangan Pemerintah Daerah masing-masing.<br />Pengangkatan pegawai termasuk tenaga kesehatan di Pusat dan Daerah juga<br />terdapat keterbatasan, disisi lain tenaga kesehatan khususnya tenaga medis dan<br />tenaga keperawatan sangat dibutuhkan di sarana kesehatan tersebut sehingga untuk<br />memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut untuk jangka waktu tertentu<br />diperlukan tenaga kesehatan di luar jalur PNS yaitu melalui pengadaan tenaga<br />kesehatan dengan perjanjian kerja sehingga diperoleh tenaga kesehatan sesuai<br />kebutuhan. Perjanjian kerja ini dapat memberi peluang bagi Pemerintah<br />Daerah/pimpinan sarana kesehatan dalam mengadakan tenaga kesehatan tertentu<br />yang akan dikaryakan sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi.<br />Sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan pedoman perjanjian kerja antara<br />tenaga kesehatan dengan pemberi kerja.<br />2. TUJUAN<br />Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan bagi Gubernur, Bupati/Walikota atau<br />pimpinan sarana kesehatan dalam upaya pengadaan tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja di sarana kesehatan milik Pemerintah untuk meningkatkan pelayanan<br />kesehatan. Sarana kesehatan milik swasta yang mendayagunakan tenaga kesehatan<br />dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu dapat mengacu pada pedoman ini.<br />3. PENGERTIAN<br />Yang dimaksud dengan :<br />a. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggrakan<br />upaya kesehatan;<br />5<br />b. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian kerja antara tenaga kesehatan<br />dengan pimpinan sarana kesehatan secara tertulis, dalam waktu tertentu yang<br />memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.<br />c. Pemberi kerja adalah pimpinan sarana kesehatan atau pejabat yang<br />berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.<br />d. Tenaga kesehatan adalah tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan<br />Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang<br />berkedudukan bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap,<br />yang untuk jenis tertentu harus memiliki surat izin praktik/surat izin kerja.<br />4. JENIS PERJANJIAN KERJA<br />Jenis perjanjian kerja dibedakan berdasarkan pada :<br />a. Jumlah tenaga kesehatan yang di kontrak<br />1) Perjanjian Kerja Perorangan<br />Perjanjian kerja perorangan, merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara<br />pemberi kerja dengan seorang tenaga kesehatan<br />2) Perjanjian Kerja Bersama<br />Perjanjian kerja bersama merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara<br />pemberi kerja dengan beberapa tenaga kesehatan sebagai suatu Tim Kerja<br />yang bergerak di bidang kesehatan untuk angka waktu tertentu.<br />b. Jenis pekerjaan<br />1) Paket pelayanan.<br />Adalah Perjanjian kerja yang bertujuan untuk menyelesaikan sejumlah beban<br />kerja tertentu, misalnya pelayanan imunisasi pada daerah tertentu.<br />2) Prestasi .<br />Adalah Perjanjian kerja yang didasarkan pada prestasi (target) yang dicapai.<br />Apabila prestasi melampaui target pelayanan maka tenaga kesehatan yang<br />bersangkutan dapat memperoleh insentif sesuai yang diperja njikan.<br />c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu .<br />1) Jangka waktu perjanjian kerja untuk tenaga kesehatan tertentu yang memiliki<br />surat izin praktik sementara paling lama 18 bulan.<br />2) Sedang untuk tenaga kesehatan tertentu yang telah memiliki surat izin praktik,<br />jangka waktu perjanjian kerja paling lama 2(dua tahun.<br />3) Perpanjangan perjanjian kerja tenaga kesehatan dimaksud butir 2), hanya<br />boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu )tahun<br />dengan ketentuan jumlah seluruh Perjanjian kerja tidak boleh lebih dari tiga<br />tahun.<br />4) Perpanjangan perjanjian kerja dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari<br />sebelum perjanjian kerja berakhir.<br />6<br />5. POLA PERJANJIAN KERJA<br />a. Judul ( Heading ) atau Nama Perjanjian<br />Judul perjanjian sebaiknya singkat dan jelas.<br />b. Pembukaan ( Opening )<br />Pembukaan ini merupakan awal dari suatu akta.<br />c. Komparasi / Para Pihak ( Parties )<br />Komparasi merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para<br />pihak yang membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan<br />identitas serta tempat tinggal yang bersangkutan.<br />d. Premise ( Recitals ).<br />Premise atau recitals biasa dipergunakan sebagai pendahuluan (introduction) suatu<br />akta atau pengantar yang menunjukkan maksud utama dan para pihak, dan<br />menyertakan alasan mengapa suatu akta itu dibuat.<br />Premise disebut juga suatu pernyataan yang merupakan konsiderans<br />/pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir suatu perikatan. Penulisan<br />dalam akta biasanya secara baku dimulai dengan kata “bahwa”.<br />e. Isi Perjanjian<br />Isi perjanjian mencakup ketentuan dan persyaratan. Pada bagian ini para pihak<br />mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu, yang<br />merupakan kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis yang sah.<br />Sebagai pokok perjanjian maka diharapkan dapat mencakup dan mengandung<br />semua isi perjanjian sekaligus merupakan isi akta yang memuat secara mendetail<br />mengenai obyek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap<br />mengenai prestasi.<br />Mengenai isi perjanjian dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :<br />1) Unsur esensialia<br />Unsur esensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok<br />sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu<br />perjanjian, sehingga perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak<br />mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini memang<br />ditentukan dan harus ada oleh Undang-Undang karena bila tidak, maka<br />perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak mengikat. Dalam perjanjian kerja hal<br />yang merupakan esensialia adalah pekerjaan dan upah yang diberikan.<br />2) Unsur Naturalia<br />Unsur Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya<br />dicantumkan dalam perjanjian. Namun tanpa pencantuman syarat yang<br />dimaksud itu pun suatu perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu<br />perjanjian menjadi tidak mengikat.<br />3) Unsur Aksidentalia<br />Unsur Aksidentalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi<br />dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud<br />khusus sebagai suatu kepastian.<br />7<br />Hal ini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar “asas kebebasan<br />berkontrak” (freedom of contract), asalkan hal tersebut tidak bertentangan<br />dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.<br />f. Klausula ( Clause )<br />Ada hal penting lain yang harus mendapat tempat dalam perjanjian ini. Hal-hal<br />penting yang dimaksudkan itu adalah mengenai berbagai klausula yang acapkali<br />juga muncul dan dimasukkan dalam merumuskan isi perjanjian, sekaligus<br />merupakan bagian yang patut memperoleh perhatian misal kausula force majeure<br />yang dimaksudkan sebagai langkah awal untuk melakukan antisipasi yang<br />ditempuh oleh para pihak yang membuat perjanjian terhadap kejadian yang<br />mungkin timbul dikemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksaan<br />perjanjian.<br />g. Penutup / Testimonium Clause (Closure)<br />Setiap perjanjian tertulis, selalu ditutup dengan kata atau kalimat yang<br />menyatakan bahwa perjanjain itu dibuat dakam jumlah atau rangkap yang<br />diperlukan dan bermaterai cukup, maksudnya telah memenuhi ketentuan yang<br />berlaku misalnya Rp. 6000,- (enam ribu rupiah) dan ditandatangani oleh para<br />pihak atau yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.<br />h. Tanda Tangan (Attestation)<br />Tanda tangan para pihak atau yang mewakili, dan tanda tangan saksi-saksi.<br />Apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan perseorangan<br />melainkan badan hukum, maka dibawah tanda tangan juga disebutkan nama dan<br />jabatannya, dilengkapi dengan cap sarana kesehatan di sebelah tanda tangan.<br />i. Lampiran<br />Dalam surat perjanjian tidak jarang dan biasa disertai dengan Lampiran, apabila<br />terdapat hal-hal yang perlu disertakan atau dilekatkan pada perjanjian induk.<br />Lampiran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok atau<br />induk, yang mungkin bila dibuat dalam perjanjian pokok mengalami kesulitan<br />teknis atau memang sengaja dibuat secara terpisah misalnya seperti surat kuasa.<br />6. SYARAT PERJANJIAN KERJA<br />a. kesepakatan kedua belah pihak;<br />b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;<br />c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan<br />d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,<br />kesusilaan, dan peraturan perundang -undangan yang berlaku.<br />7. MATERI MUATAN PERJANJIAN KERJA<br />a. Nama dan alamat sarana kesehatan pemberi kerja<br />b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ tenaga kesehatan.<br />c. Jabatan atau jenis pekerjaan;<br />d. Tempat pekerjaan;<br />e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;<br />8<br />f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan tenaga<br />kesehatan .<br />g. Besarnya gaji / upah dan cara pembayarannya<br />h. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja<br />i. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;<br />j. Ketetapan tanggal mulai berlaku dan berakhir serta ditandatangani oleh kedua<br />belah pihak.<br />k. Penyelesaian perselisihan.<br />8 . PENGADAAN<br />Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan pelayanan<br />kesehatan yang prima perlu pertimbangan yang matang melalui prosedur yang<br />komprehensif dari proses analisis kebutuhan tenaga sampai kepada evaluasi<br />kinerjanya. Pertimbangan ini perlu dilakukan disamping untuk mendapatkan tenaga<br />yang sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasinya juga sebagai dasar dalam penetapan<br />butir-butir Perjanjian kerja.<br />Langkah-langkah pengadaan tenaga kesehatan dengan Perjanjian kerja:<br />a. melakukan pendataan tenaga yang dimiliki<br />b. melakukan analisis kebutuhan tenaga .<br />c. menetapkan jenis pekerjaan (spesifikasi)<br />d. menetapkan kebutuhan tenaga berdasarkan jenis dan kualifikasi yang diisusun<br />berdasarkan skala prioritas..<br />e. melaksanakan penyebar luasan informasi.<br />f. melakukan penjaringan peminatan sesuai dengan ketentuan persyaratan yang<br />diberlakukan antara lain seleksi administrasi, seleksi tertulis, wawancara dan<br />psikotest.<br />g. membuat pengumuman hasil seleksi.<br />h. membuat surat Perjanjian kerja .<br />9. HAK<br />a. Hak Pemberi kerja<br />1) pemberi kerja berhak memperoleh jasa dari tenaga kesehatan;<br />2) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak<br />memenuhi kewajibannya.<br />3) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila tenaga kesehatan tidak<br />memenuhi kewajibannya.<br />b. Hak Tenaga Kesehatan<br />1) memperoleh penghasilan/upah ;<br />2) memperoleh pengakuan pengalaman kerja sesuai dengan masa kerja;<br />3) memperoleh tunjangan transport, premi asuransi jiwa dan jaminan<br />pemeliharaan kesehatan sesuai peraturan yang berlaku di sarana kesehatan<br />tersebut;<br />4) memperoleh kesejahteraan/insentif yang ditetapkan oleh pimpinan. misalnya<br />jasa medik, lembur dan lain-lain;<br />5) memperoleh cuti yang ditetapkan oleh pimpinan :<br />a) cuti tahunan lamanya 12 hari kerja bagi tenaga kesehatan dengan<br />perjanjian kerja lebih dari satu tahun;<br />9<br />b) cuti hamil lamanya satu bulan sebelum melahirkan dan satu setengah<br />bulan setelah melahirkan bagi karyawati;<br />c) cuti sakit lamanya berdasarkan atas surat keterangan dokter;<br />d) selama menjalankan cuti hak-hak atas pengahasilan/upah tetap dibayar<br />sebagaimana mestinya.<br />6) menjalankan praktik di luar jam kerja sesuai dengan peraturan perundangundangan<br />yang berlaku;<br />7) berhak melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pemberi kerja tidak<br />memenuhi kewajibannya.<br />10. KEWAJIBAN<br />a. Kewajiban Pemberi kerja<br />1) membayarkan penghasilan/upah dan kesejahteraan/insentif tenaga kesehatan<br />sesuai yang diperjanjikan;<br />2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan<br />perundang-undangan yang berlaku;<br />3) melaksanakan ketentuan waktu kerja/lembur sesuai peraturan perundangan<br />yang berlaku;<br />4) memenuhi dan menghormati hak-hak tenaga kesehatan .<br />b. Kewajiban Tenaga Kesehatan .<br />1) untuk tenaga kesehatan tertentu wajib memiliki surat ijin praktik sementara/ surat<br />ijin praktik/surat ijin kerja.<br />2) mentaati perjanjian kerja yang telah disepakati dan semua peraturan perundangundangan<br />yang berlaku<br />3) melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya;<br />11. PEMBINAAN<br />a. Pembinaan adalah suatu kegiatan pemberian petunjuk tentang cara pelaksanaan<br />upaya sesuai dengan ketentuan dan bertujuan mendapatkan kesatuan tindak<br />untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. Kegiatan<br />pembinaan meliputi pengawasan, pengendalian dan penilaian. Pembinaan<br />terhadap tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja secara umum dilakukan oleh<br />organisasi profesi yang bersangkutan dimana tenaga tersebut bekerja.<br />b. Kegiatan pembinaan dalam tujuan peningkatan mutu, antara lain:<br />1) pendidikan berkelanjutan, seminar dan lokakarya;<br />2) pelatihan. penyuluhan hukum dan etika profesi;<br />3) keterampilan pengelolaan program.<br />c. Tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran disiplin dikenakan sanksi<br />berupa:<br />1) teguran lisan ;<br />2) teguran tertulis;<br />3) pemutusan hubungan kerja sebelum berakhirnya batas waktu perjanjian kerja.<br />10<br />d. Kepada tenaga kesehatan dilakukan penilaian kinerja setiap 3 (tiga) bulan sekali<br />yang dipergunakan sebagai pertimbangan pemberian penghargaan dan sanksi.<br />12. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN<br />a. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pemberi kerja apabila tenaga<br />kesehatan :<br />1) Tidak sehat jasmani dan/atau rohani.<br />3) Melanggar disiplin berat.<br />4) Melakukan tindak pidana.<br />5) Meninggal dunia<br />6) Selesai masa perjanjian kerja.<br />7) Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan<br />dalam perjanjian kerja.<br />b. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan apabila pihak<br />pemberi kerja :<br />a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah<br />disepakati dalam perjanjian kerja.<br />2) Telah melakukan perbuatan yang tidak layak/baik terhadap tenaga kesehatan<br />tersebut.<br />2. Memberi tugas tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.<br />c. Apabila salah satu pihak memutuskan hubungan kerja secara sepihak sebelum batas<br />waktu perjanjian kerja berakhir sebelum batas waktu yang disepakati maka pihak<br />yang memutuskan hubungan kerja sepihak tersebut agar membayar ganti rugi<br />sesuai kesepakatan.<br />d. Apabila timbul perselisihan antara tenaga kesehatan dengan pemberi kerja akan<br />diselesaikan melalui :<br />a. Musyawarah antara pemberi kerja dengan tenaga kesehatan yang<br />bersangkutan.<br />b. Apabila penyelesaian melalui musyawarah tidak dapat diselesaikan maka<br />diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..<br />13. PENUTUP<br />Pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja disusun berdasarkan<br />kepentingan akan kebutuhan tenaga kesehatan di sarana kesehatan pemerintah yang<br />memuat acuan untuk memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menetapkan<br />kebijakan lebih lanjut dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.<br />MENTERI KESEHATAN<br />DR. ACHMAD SUJUDI<br />11<br />Lampiran II<br />Peraturan Menteri Kesehatan<br />Nomor : 1199/Menkes/Per/X/2004<br />Tanggal : 19 Oktober 2004<br />MODEL PENYUSUNAN STRUKTUR GAJI TENAGA KESEHATAN<br />DENGAN PERJANJIAN KERJA<br />1. PENDAHULUAN<br />Tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja merupakan pendayagunaan tenaga<br />kesehatan oleh sarana kesehatan dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu.<br />Kedudukannya bukan sebagai PNS maupun Pegawai Tidak Tetap. Oleh karenanya<br />pengaturan hak dan kewajibannya mengacu pada peraturan perundang-undangan di<br />bidang ketenagakerjaan termasuk penetapan struktur gaji dan upah. Model penyusunan<br />struktur gaji ini bertujuan memberikan pedoman dalam penyusunan struktur gaji dan<br />upah yang sistematik pada sarana kesehatan Pemerintah yang mendayagunakan tenaga<br />kesehatan dengan perjanjian kerja agar dapat menjadi acuan.<br />2. KRITERIA<br />Kriteria dalam penyusunan gaji/upah terdiri dari :<br />a. gaji/upah harus berkelayakan dalam arti penghasilan yang diterima mampu memenuhi<br />kebutuhan hidup;<br />b. gaji/upah harus berkeadilan dalam arti penghasilan yang diterima sesuai dengan<br />produk/jasa yang telah diberikan. Sedang produk seorang tenaga kesehatan<br />ditentukan oleh tingkat pendidikannya, pengalaman kerjanya, tanggung jawab dan<br />risiko pekerjaannya.<br />3. KEPENTINGAN PRAKTIS<br />Untuk kepentingan praktis,seperti halnya dalam penerimaan CPNS maka dalam<br />penyusunan gaji/upah ini, setiap tenaga kesehatan dipandang belum memiliki<br />pengalaman kerja. Sehingga apa yang ditetapkan disini sebenarnya adalah gaji pokok.<br />Untuk memberi penghargaan pada tenaga kesehatan yang ditempatkan dalam satu<br />jabatan teknis/fungsional, maka pada gaji pokok dapat diberikan tunjangan jabatan<br />fungsional. Sehingga penghasilan tenaga kersehatan terdiri dari : gaji pokok + tunjangan<br />jabatan + kesejahteraan, seperti uang transport, dan lain-lain.<br />4. KEBUTUHAN BIAYA HIDUP<br />Untuk memperoleh gambaran bagaimana selayaknya gaji pokok/upah dimasing-masing<br />tingkat jabatan maka perlu ditentukan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi<br />output seorang tenaga kesehatan yang terdiri dari tingkat pendidikan; pengalaman kerja,<br />tanggung jawab serta faktor risiko pekerjaan. Pada penyusunan gaji pokok ini<br />sebagaimana yang terdapat dilingkungan pengangkatan pertama CPNS, setiap orang<br />dianggap belum memiliki pengalaman kerja, dengan faktor risiko pekerjaan minimal<br />terkecuali bagi tenaga kesehatan yang ditempatkan didaerah terpencil akan diberikan<br />tunjangan pengabdian dan faktor tanggung jawab diejawantahkan dalam tunjangan<br />jabatan.<br />12<br />Dengan demikian faktor tingkat pendidikan yang menentukan besar kecilnya gaji pokok<br />tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja, seperti terdapat dilingkungan PNS<br />sebagaimana terlihat pada tabel 1.<br />Tabel 1. Pengangkatan pertama dalam golongan ruang pangkat PNS<br />Namun berbeda dengan PNS dalam penyusunan gaji pokok, disini jenjang<br />pendidikan diberi skoring seperti terlihat pada tabel 2.<br />Tabel 2.<br />Skoring berdasarkan tingkat pendidikan.<br />No. Tingkat pendidikan Golongan Ruang Pangkat<br />1 SMU II/a<br />2 Akademi ( D3) II/b<br />3 Sarjana ( S1) III/a<br />4 S2/ Spesialis III/a<br />No Tingkat Pendidikan Skoring pada setiap tingkat<br />pendidikan<br />1 SMU 140<br />2 D2 150<br />3 D3 160<br />4 Sarjana ( S1 ) 170<br />5 Dr, Drg, Apoteker 180<br />6 Pasca Sarjana (S2) 190<br />7 Spesialis 200<br />13<br />5. GAJI POKOK<br />Tabel 3.<br />Gaji Pokok Masing -Masing Tingkat Pendidikan<br />6. TUNJANGAN<br />a. ..Tunjangan adalah tambahan penghasilan diluar gaji pokok sebagai akibat tenaga<br />kesehatan mengemban tanggung jawab atau menanggung risiko pekerjaan.<br />Berbeda dengan PNS pada gaji pokok tenaga Perjanjian kerja tidak diberikan<br />tunjangan keluarga, karena perhitungan UMR telah meliputi perhitungan kebutuhan<br />satu keluarga. Demikian pula pengalaman kerja yang dalam sistim PNS disebut<br />pengalaman kerja maka pada tenaga Perjanjian kerja penghargaan terhadap<br />pengalaman kerja diejawantahkan kedalam kenaikan gaji pokok setelah menanda<br />tangani kontrak yang kedua atau ketiga.<br />Besarnya tunjangan jabatan atau tunjangan pengabdian didaerah terpencil<br />setinggi- tingginya sama dengan besarnya gaji pokok. Jadi berbeda dengan<br />tunjangan jabatan PNS yang besarnya jauh lebih besar dari gaji pokok.<br />Tunjangan yang disarankan :<br />1) Tunjangan jabatan untuk setiap jabatan : 0,2 x Gaji Pokok *);<br />2) Tunjangan pengabdian untuk setiap jabatan :0,8 - 1 x Gaji Pokok.<br />*) Untuk memberikan tunjangan jabatan perlu ditetapkan jabatan-jabatan teknis/<br />fungsional yang manakah yang menerima tunjangan. Misalnya, tenaga teknis/<br />fungsional yang setingkat dengan SMU keatas.<br />Tunjangan kesejahteraan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja dapat berupa<br />tunjangan materiil berupa uang dan tunjangan non materiil ( berupa fasilitas ). Apabila<br />tunjangan materiil yang diberikan, maka tunjangan diberikan bersamaan dengan<br />pembayaran gaji, karena tunjangan tersebut bersifat tetap.<br />No Tingkat Pendidikan Gaji Pokok<br />1 SMU = 1,4 UMR<br />2 D2 = 1, 5 UMR<br />3 D3 = 1, 6 UMR<br />4 S1 = 1,70 UMR<br />5 Dr, Drg, Apoteker = 1,80 UMR<br />6 S2 = 1,90 UMR<br />7 Spesialis = 2.00 UMR<br />14<br />Sehingga penghasilan tenaga kesehatan terdiri dari :<br />Gaji Pokok + Tunjangan Jabatan/ Tunjangan Pengabdian + Tunjangan<br />Kesejahteraan.<br />7. PEMELIHARAAN KESEHATAN<br />Pemeliharaan kesehatan diintegrasikan kedalam tunjangan kesejahteraan apabila<br />tenaga kesehatan yang bersangkutan bukan peserta oleh asuransi kesehatan.<br />Disini, setiap terjadinya peristiwa sakit, tenaga kesehatan membayar sendiri biaya<br />pengobatannya. Sebaliknya apabila tenaga kesehatn tersebut. tidak sakit maka<br />pemberian tunjangan kesehatan tersebut merupakan keuntungan yang menjadi<br />milik tenaga kesehatan, diberikan setiap bulan bersamaan dengan pembayaran<br />gaji.<br />Namun demikian, untuk menghindari biaya kesehatan yang tinggi seyogyanya<br />tenaga kesehatan tersebut menjadi peserta asuransi kesehatan, pembayaran premi<br />asuransi dapat ditanggung oleh sarana kesehatan yang bersangkutan.<br />8. KERJA LEMBUR<br />Tenaga kesehatan berhak atas uang lembur apabila bekerja melampaui jam kerja<br />yang ditentukan. Besarnya uang lembur / jam dihitung dari gaji pokok dibagi 4 x 37,3<br />jam = gaji pokok / 149 jam.<br />Banyaknya jam lembur / bulan merupakan jumlah dari kerja lembur harian.<br />Ketentuan lembur dalam pasal 78 ayat(1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003<br />tetntang Ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3<br />(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas )jam dalam 1 (satu) minggu dan<br />harus dengan persetujuan yang bersangkutan.<br />9. INSENTIF<br />Insentif adalah pemberian imbalan pada tenaga kesehatan atas hasil kerja yang<br />melampaui rata-rata, dalam rangka meningkatkan output sarana kesehatan. Misalnya<br />jika secara rata-rata seorang tenaga kesehatan outputnya dalam 7 jam kerja =350<br />unit, maka ia dirangsang dengan memberikan insentif agar menghasilkan 400 unit.<br />Dengan demikian sistim insentif berbeda dengan kerja lembur. Penetapan insentif ini<br />tidak mudah karena sulit menetapkan parameternya. Insentif hanya diberikan pada<br />tenaga-tenaga tertentu yang termasuk dalam program insentif. Jadi berbeda<br />pengertiannya dengan insentif yang dikenal dilingkungan pegawai dimana setiap<br />orang memperoleh sejumlahuang tertentu yang tujuan utamanya untuk memperbaiki<br />kesejahteraan.<br />Kriteria pemberian insentif :<br />a. ada beban kerja yang harus segera diselesaikan, yang dituangkan dalam program<br />insentif untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka waktu.<br />b. ada parameter yang jelas;<br />c. tenaga kesehatan yang masuk program adalah orang-orang terpilih.<br />Besaran insentif tidak boleh melebih gaji pokok perbulan. Pembayaran insentif<br />dibayarkan diluar pembayaran gaji.<br />15<br />10. CONTOH PERHITUNGAN GAJITENAGA DENGAN PERJANJIAN KERJA<br />a. DAERAH REGIONAL DKI<br />PERAWAT<br />Seorang perawat, pendidikan setingkat SMU<br />UMR DKI = Rp. 426.250,-<br />1. Gaji pokok perawat : 1,4 x Rp. 426.250 = Rp. 596. 750,-<br />2. Tunjangan jabatan : 0,2 x Rp. 596.750 = Rp. 119. 350,-(+)<br />fungsional<br />3. PENGHASILAN : Rp. 716. 100,-<br />DOKTER<br />1. Gaji Pokok : 1,8 x Rp. 426.250 = Rp. 767.250,-<br />2. Tunjngan jabatan dokter : 0,2 x Rp. 767.250 = Rp. 153.450,-(+)<br />3. PENGHASILAN : Rp. 920. 700,-<br />BIDAN ( D2)<br />1. Gaji Pokok : 1,5 x Rp. 426. 250 = Rp. 639. 375,-<br />2. Tunjangan jab. Bidan : 0,2 x Rp. 639. 375 = Rp. 127. 875,- (+)<br />3. PENGHASILAN : Rp. 767.250,-<br />b. DAERAH TERPENCIL, KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU.<br />DOKTER<br />1. Gaji Pokok = Rp. 767.250,-<br />2. Tunjangan jabatan dokter : = Rp. 153.450,-<br />3. Tunjangan Pengabdian 0,8 x Rp 767.250,- = Rp. 613.800,- (+)<br />4. PENGHASILAN : Rp. 1.534.500,-<br />16<br />PERAWAT<br />1. Gaji Pokok : = Rp. 596. 750,-<br />2. Tunjangan jab. perawat : = Rp. 119. 350,-<br />3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 596.750 = Rp. 477.400,- (+)<br />4. PENGHASILAN : Rp. 1.193.500,-<br />BIDAN<br />1. Gaji Pokok = Rp. 639. 375,-<br />2. Tunjangan jab. bidan : = Rp. 127. 875,-<br />3. Tunjangan Pengabdian : 0,8 x Rp. 639.375 = Rp. 511. 500,-(+)<br />4. PENGHASILAN : Rp. 1. 278.750,-<br />11. CONTOH PERHITUNGAN I GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL<br />DOKTER<br />Golongan III/a, 1 tahun masa kerja, keluarga : 1 istri/suami + 1 anak.<br />1. Gaji Pokok : = Rp. 760. 800,-<br />2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 760.800 = Rp. 91. 296,-<br />(+)<br />3. Gaji Kotor : Rp. 852. 096,-<br />4. Iuran wajib 10 % : 0,1 x Rp. 852. 096 = Rp. 85. 210,-<br />(-)<br />5. Gaji bersih : Rp. 766.886,-<br />6. Tunjangan tenaga kesehatan sarjana<br />Golongan III : Rp. 281.300,-<br />(+)<br />7. PENGHASILAN : Rp. 1.048. 186,-<br />PERAWAT<br />Perawat golongan II/a; Masa Kerja : 1 Tahun; Berkeluarga : 1 istri/suami+ 1 anak.<br />1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-<br />2. Tunjangan Keluarga : 0,12 x Rp. 628.409 = Rp. 75. 409,- (+)<br />3. Gaji Kotor : Rp. 703. 818,-<br />4. Iuran Wajib 10 % : 0,1 x Rp. 703.818 = Rp. 70. 382,-<br />(-)<br />5. Gaji Bersih : Rp. 633. 436,-<br />6. Tunjangan tenaga keperawatan Gol. II : Rp. 112. 500,-<br />(+)<br />7. PENGHASILAN : Rp. 745. 936,-<br />17<br />BIDAN ( D2 )<br />Bidan gol. II/a; Masa kerja : 1 tahun; Belum berkeluarga.<br />1. Gaji Pokok : Rp. 628. 409,-<br />2. Iuran wajib : 0,1 x Rp. 628. 409 = Rp. 62. 841,-<br />(-)<br />3. Gaji bersih : Rp. 565. 568,-<br />4. Tunjangan tenaga keperawatan gol II : Rp. 112. 500,-<br />(+)<br />5. PENGHASILAN : Rp. 678. 068,-<br />Bagi PNS yang bekerja didaerah terpencil tidak ada tunjangan pengabdian, untuk<br />daerah terpencil, terkecuali di Propinsi Papua, atau dalam status PTT.<br />12. PENUTUP<br />1. Penyusunan struktur gaji tenaga kesehatan Perjanjian kerja menggunakan<br />metoda evaluasi jabatan, yakni suatu metoda yang memperbandingkan nilai-nilai<br />yang terdapat dalam jabatan. Untuk itu ditentukan terlebih dahulu faktor<br />jabatan yang akan diperbandingkan, seperti :<br />a. tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kesulitan pekerjaan yang<br />terdapat dalam jabatan;<br />b. pengalaman kerja;<br />c. tanggung jawab yang terdapat dalam jabatan;<br />d. risiko.<br />Dalam penyusunan gaji pokok faktor pengalaman kerja belum diperhitungkan<br />karena tenaga kesehatan yang didayagunakan belum memiliki pengalaman<br />kerja. Sedangkan faktor tanggung jawab dan risiko dimasukkan kedalam<br />tunjangan jabatan, yakni tambahan penghasilan karena menanggung beban<br />yang lebih besar.<br />2. Langkah berikutnya adalah memberi skoring setiap tingkat pendidikan, dengan<br />ketentuan bahwa setiap tiga tahun akan bernilai 20 ( dua puluh ).<br />Setelah skoring ditetapkan maka dihitung gaji pokok masing-masing kategori<br />tenaga dengan mengkalikan dengan UMR.<br />3. Besarnya penghasilan tenaga kesehatan dimasing-masing region (daerah)<br />tergantung dari tinggi rendahnya UMR. Tunjangan jabatan diberikan sebesar 20<br />% dari gaji pokok, sebagai penghargaan terhadap tanggung jawab tenaga<br />kesehatan.. Tunjangan pengabdian didaerah terpencil seperti Pulau Seribu<br />diberikan sebesar 80 % dari gaji pokok, karena daerah ini tidak terlalu jauh dari<br />Jakarta. Berbeda didaerah pedalam Irian Jaya atau Maluku yang sama sekali<br />terisolir sehingga tunjangan pengabdian yang diberikan sebesar 100 % gaji<br />pokok.<br />18<br />4. Struktur gaji tenaga kesehatan perjanjian kerja terdiri dari :<br />a. Gaji Pokok;<br />b. Tunjangan dapat terdiri atas :<br />1. tunjangan jabatan;<br />2. tunjangan pengabdian;<br />3. tunjangan kesejahteraan;<br />4. kerja lembur;<br />5. insentif;<br />6. iuran premi asuransi kesehatan.<br />MENTERI KESEHATAN<br />DR. ACHMAD SUJUDI<br />19Berita_Rantauhttp://www.blogger.com/profile/02411546055443591955noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8856261156058892581.post-8940403510601370752009-12-12T02:22:00.000-08:002009-12-12T02:31:25.819-08:00PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT YANG WAJIB DILAKSANAKAN DAERAHdi kutip, http://www.desentralisasi-kesehatan.net/id/moduldhs/hukum/KepMenKes_No_228__SK_III_2002_SPM_RSDaerah.pdf.<br /><br />Page 1<br /><br />1<br />KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 228/MENKES/SK/III/2002<br />TENTANG<br />PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL<br />RUMAH SAKIT YANG WAJIB DILAKSANAKAN DAERAH<br />Menimbang:<br />a. bahwa untuk kemudahan dalam melaksanakan ketentuan tentang Pedoman Penyusunan<br />Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah, dipandang perlu<br />menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan teknis berupa Pedoman Penyusunan Standar<br />Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah sesuai dengan Keputusan<br />Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor 1747/Menkes-<br />Kesos/SK/XII/2000;<br />b. bahwa sehubungan dengan butir a, maka perlu ditetapkan Pedoman Penyusunan Standar<br />Pelayanan Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah dengan Keputusan Menteri<br />Kesehatan.<br />Mengingat:<br />1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992<br />Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);<br />2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara<br />Tahun 1992 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);<br />3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah<br />Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara<br />Nomor 3848);<br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan<br />Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,<br />Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);<br />5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pedoman<br />Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah;<br />6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/Menkes/SK/Per/II/1998<br />tentang Rumah Sakit;<br />7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Menkes/SK/XII/1999 tentang<br />Rekam Medis/Medical Record;<br />8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13333/Menkes/SK/XII/1999<br />tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;<br />9. Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor<br />1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal<br />Dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;<br />10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang<br />Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;<br />Page 2<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />2<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan:<br />Pertama:<br />Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah<br />Sakit Yang Wajib Dilaksanakan Daerah.<br />Kedua:<br />Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Daerah<br />sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama tercantum dalam lampiran Keputusan ini dan<br />sebagai bagian yang tidak terpisahkan.<br />Ketiga:<br />Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan akan diadakan perbaikan seperlunya<br />apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />Pada tanggal 28 Maret 2002<br />MENTERI KESEHATAN<br />ttd<br />Dr. ACHMAD SUJUDI<br />Page 3<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />3<br />Lampiran:<br />PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT YANG<br />WAJIB DILAKSANAKAN DAERAH<br />A. PENDAHULUAN<br />1. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang<br />Pemerintahan Daerah, kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib<br />dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Ini berarti bahwa dalam rangka<br />Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota bertanggungjawab<br />sepenuhnya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan<br />derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya. Rumah sakit sebagai salah satu sarana<br />kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran<br />yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat.<br />Oleh karena itu Rumah Sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai<br />dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.<br />2. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menyatakan bahwa kewenangan<br />yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota merupakan<br />pelayanan minimal yang sesuai standar dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud<br />dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang dalam pelaksanaan<br />harus disesuaikan. Pelayanan Minimal yang dilaksanakan ini harus disesuaikan dengan<br />standar yang ditentukan oleh propinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh<br />pemerintah. Bahwa Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang<br />Kesehatan Yang Wajib Dilaksanakan di Kabupaten/Kota ini telah dibuat berdasarkan<br />Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor<br />1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000 . Dengan demikian maka mempertimbangkan bahwa<br />pokok-pokok yang tertera pada lampiran Keputusan Menteri tersebut, khususnya untuk<br />Rumah Sakit, dipandang perlu untuk lebih memberikan panduan yang berupa pedoman<br />penyusunan standar pelayanan minimal rumah sakit yang wajib dilaksanakan di<br />Kabupaten/Kota, agar propinsi dapat menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM)<br />untuk dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di wilayahnya.<br />3. Arahan ini akan berbentuk pedoman dengan isinya yang berupa garis-garis besarnya<br />saja. Adapun untuk lebih detailnya, dalam penetapan angka standar oleh rumah sakit,<br />berdasarkan kemampuan sarana yang dimiliki, kemampuan masyarakat sekitar di<br />wilayah itu serta kemampuan pembiayaan rumah sakit pemerintah kabupaten dan<br />pemerintah kota<br />4. Departemen Kesehatan telah menekankan hal-hal yang terkait dengan pembangunan<br />kesehatan yaitu prioritas pembangunan kesehatan perlu lebih dipertajam dengan<br />paradigma sehat dengan memberikan perhatian khusus pada masyarakat yang kurang<br />mampu.<br />5. Dalam melaksankannya profesionalisme pelaksanaan pelayanan kesehatan dituntut<br />untuk menjamin peningkatan mutu pelayanan yang lebih terbuka (transparan) dan lebih<br />bertanggung jawab (akuntabel).<br />6. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah, mengandung maksud bahwa<br />pemerintah di daerah bertanggungjawab pula atas kelancaran, pengelolaan, pembiayaan<br />dan kontrolnya. Hal ini semata untuk kesejahteraan rakyat di daerah sendiri.<br />B. DASAR HUKUM<br />1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.<br />2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.<br />Page 4<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />4<br />3. Undang-undnag Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara<br />Pemerintah Pusat dan Daerah.<br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan<br />Propinsi Sebagai Daerah Otonom.<br />5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pedoman<br />Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah.<br />6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/Menkes/SK/Per/<br />XII/1988 tentang Rumah Sakit.<br />7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Menkes/SK/<br />Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record.<br />8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999<br />tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.<br />9. Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor<br />1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan<br />Minimal dalam Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota.<br />10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001<br />tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.<br />C. PENGERTIAN<br />Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Kabupaten/Kota adalah standar pelayanan<br />berdasarkan kewenangan yang telah diserahkan, yang harus dilaksanakan Rumah Sakit<br />Kabupaten/Kota untuk meningkatkan mutu pelayanan yang dapat dijangkau oleh masyarakat<br />yang sekaligus merupakan akuntabilitas daerah kepada pemerintah dalam penyelenggaraan<br />pemerintah Kabupaten/Kota serta sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan pemerintah<br />kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota.<br />D. RUANG LINGKUP<br />Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1747/Menkes-Kesos/SK/XII/2000<br />tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang Kesehatan di<br />Kabupaten/Kota, maka pedoman ini merupakan acuan bagi setiap Propinsi untuk menetapkan<br />Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan Kabupaten/Kota masing-<br />masing. Rumah Sakit Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal yang telah<br />ditetapkan oleh propinsi dengan memperhatikan situasi kondisi wilayah setempat.<br />E. FALSAFAH<br />1. Kesehatan adalah Hak Warga Negara, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.<br />2. Kesehatan adalah investasi Sumber Daya Manusia.<br />3. Kesehatan adalah tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan Masyarakat.<br />4. Upaya kesehatan berdasarkan perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan dan<br />dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa.<br />5. Dalam Pembangunan Kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam<br />memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal, bermutu, efisien dan merata, tanpa<br />memandang suku dan golongan.<br />F. VISI<br />Pelayanan rumah sakit yang Prima terjangkau dan merata sesuai standar<br />Page 5<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />5<br />G. MISI<br />1. Meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya peningkatan derajat<br />kesehatan masyarakat di wilayahnya.<br />2. Meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya membiayai pelayanan-<br />pelayanan yang dilaksanakan oleh rumah sakit yang diperuntukkan kepada masyarakat<br />yang tidak mampu diwilayahnya.<br />3. Meningkatkan peran rumah sakit Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam<br />peningkatan mutu pelayanan bagi masyarakat khususnya bagi yang tidak mampu.<br />4. Meningkatkan peran rumah sakit Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam<br />memberikan pelayanan pada masyarakat tidak mampu untuk jenis pelayanan rujukan,<br />kegawatdaruratan, kesehatan ibu anak, pelayanan darah, kekurangan energi<br />protein/kurang gizi, serta pemberantasan penyakit menular.<br />5. Mengembangkan system pembiayaan pelayanan kesehatan dalam bentuk unit cost untuk<br />masing-masing jenis pelayanan.<br />H. TUJUAN<br />1. Terlaksananya peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pembiayaan oleh<br />Pemerintah Kabupaten/Kota.<br />2. Terlaksananya pelayanan kesehatan rujukan, pelayanan kesehatan dasar.<br />3. Terlaksananya pelayanan yang dapat dijangkau oleh masyarakat yang tidak mampu.<br />4. Terlaksananya pelayanan yang bermutu oleh rumah sakit diperuntukkan<br />bagimasyarakat.<br />5. Terlaksananya pelayanan rujukan yang tepat guna dan berjalan lancar sesuai dengan<br />tuntutan masyarakat di wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota.<br />6. Standar pelayanan minimal merupakan salah satu upaya untuk mendorong pemerintah<br />daerah memberikan pelayanan atau kegiatan minimal yang harus dilakukan rumah sakit<br />yang bertujuan agar kebutuhan dasar masyarakat dibidang kesehatan umumnya dan<br />pelayanan kesehatan rujukan/rumah sakit tidak terabaikan, sedangkan pendanaannya<br />diatur melalui dana alokasi umum atau dana dari sumber lainnya yang sah.<br />I. MANFAAT STANDAR PELAYANAN MINIMAL:<br />1. Bagi masyarakat:<br />a. tersedia pelayanan yang terjangkau dan berkesinambungan.<br />b. Pelayanan bermutu dan sesuai standart<br />c. Meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat.<br />d. Melindungi hak asasi masyarakat dibidang kesehatan.<br />2. Bagi Rumah Sakit<br />a. akuntabilitas rumah sakit kepada pemerintah daerah.<br />b. Pemacu untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja rumah sakit.<br />c. Memudahkan rumah sakit untuk menentukan strategi.<br />d. Dapat dijadikan salah satu dasar untuk menghitung besarnya subsidi kepada rumah<br />sakit oleh pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan masyarakat.<br />3. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota<br />a. Adanya akuntabilitas pelayanan kesehatan.<br />b. Merupakan rujukan dalam rangka melakukan pembinaan diwilayahnya.<br />c. Mengetahui hal-hal yang harus di fsilitas oleh Kabupaten/Kota<br />d. Mengetahui ruang kewenangan dalam bidang kesehatan daerah Kabupaten Kota.<br />e. Merupakan acuan yang dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan<br />pembinaan.<br />Page 6<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />6<br />4. Bagi Propinsi<br />Merupakan acuan untuk propinsi dalam menetapkan sebagai tolok ukur pelaksanaan<br />kewenangan minimal yang menjadi kewajiban daerah Kabupaten Kota.<br />5. Bagi Pemerintah Pusat<br />Terjaminnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya yang tidak mampu.<br />J. STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT DAERAH.<br />1. Standar Pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen<br />rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik<br />rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit.<br />2. Indikator<br />Merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi<br />terjadinya perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa<br />indicator, yaitu:<br />a. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang<br />memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap<br />dan lain-lain.<br />b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya<br />kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.<br />c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah<br />yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.<br />d. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan<br />sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan<br />lain-lain.<br />e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit<br />maupun penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih<br />murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.<br />f.<br />Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya<br />angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat,<br />meningkatnya kesejahteraan karyawan.<br />3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam<br />melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan propinsi,<br />kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.<br />4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harus<br />dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan<br />pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah<br />Kabupaten/Kota.<br />5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah<br />setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalam rumah sakit<br />yaitu meliputi:<br />a. Manajemen Sumberdaya Manusia.<br />b. Manajemen Keuangan.<br />c. Manajemen Sistem Informasi Rumah Sakit, kedalam dan keluar rumah sakit.<br />d. Sarana prasarana.<br />e. Mutu Pelayanan.<br />Page 7<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />7<br />6. Indikator Kinerja<br />No. Pelayanan Kegiatan Minimal yang<br />wajib dilakukan<br />Indikator/Cakupan<br />Standar/Fokus<br />1.<br />Penyelenggaraan pelayanan kesehatan<br />Jumlah rumah sakit, 1 TT<br />untuk 1500 penduduk Kelas<br />C jumlah pasien miskin<br />100% terlayani<br />Standar<br />disusun<br />oleh<br />Propinsi sesuai kesepakatan<br />dengan Kabupaten/Kota<br />2.<br />Manajemen Rumah Sakit<br />Jumlah dokter spesialis 4<br />dasar<br />a. SDM<br />Membuat rencana ketenaga<br />kerjaan di rumah sakit<br />meliputi: Medis, Non Medis<br />Diklat, 5% dari jumlah<br />anggaran rumah sakit<br />b. Keuangan<br />Penerimaan RS untuk pem-<br />biayaan operasional RS<br />Analisa keuangan, peren-<br />canaan, evaluasi<br />c. Sarana prasarana/alat untuk men-dukung<br />pelayanan<br />Sesuai dengan standar<br />pelayanan alat medis, sesuai<br />dengan spesialisasi yang<br />dimiliki. Sanitasi lingkungan<br />RS/limbah rumah sakit<br />Dikalibrasi secara berkala<br />Kandungan limbah cair<br />•<br />PH 6-9<br />•<br />BOD 30 Mg/l<br />•<br />COD 80 Mg/l<br />•<br />TSS 30 Mg/I<br />d. Perencanaan administrasi<br />Rencana strategi, master<br />plan, master program<br />e. Mutu<br />Rumah sakit terakreditasi<br />untuk pelayanan dasar<br />f. Manajemen system informasi rumah<br />sakit<br />• Rekam Medik,<br />• Informasi Keuangan RS;<br />• Data-data umum, dan<br />informasi seluruh kegia-<br />tan dan pelayanan di RS<br />• Data-data Pelayanan RS<br />• Data-data Kepegawaian<br />• Data-data alat<br />3.<br />Pelayanan Medik<br />Pelayanan oleh tenaga<br />medis, meliputi Promotif<br />a. Rawat Jakan<br />Preventif,<br />Kuratif,<br />Rehabilitatif, untuk rujukan,<br />kegawat-<br />daruratan,<br />kesehatan ibu anak, kurang<br />gizi dan protein anak,<br />pemberantasan<br />penyakit<br />menular<br />b. Rawat Inap<br />Tersedianya pelayanan rawat<br />inap bagi pasien miskin,<br />rawat inap kelas III<br />c. Pelayanan Penunjang<br />Radiologi: toraz foto<br />Laboratorium dan bank<br />darah,<br />Rehabilitasi<br />medik:<br />Fisioterapi<br />Farmasi: Doen, formularium<br />Gizi Rawat inap<br />7. PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (Hospital by Laws)<br />Dalam rangka melindungi penyelenggaraan rumah sakit, tenaga kesehatan dan melindungi<br />pasien maka rumah sakit perlu mempunyai peraturan internal rumah sakit yang bisa<br />disebut hospital by laws. Peraturan tersebut meliputi aturan-aturan berkaitan dengan<br />Page 8<br />C:/Datafile_2002/Undang-2/KepMenKes/Kepmenkes_228_MENKES_SK_III_2002. doc (Sri PC per 8/9/02 1:44 PM)<br />8<br />pelayanan kesehatan, ketenagaan, administrasi dan manajemen. Bentuk peraturan internal<br />rumah sakit (HBL) yang merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain:<br />tata tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah<br />sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia<br />kedokteran, komete medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses<br />dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan<br />kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Bentuk dari Hispital by<br />laws dapat merupakan Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating Procedure (SOP), Surat<br />Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU).<br />Peraturan internal rumah akit (HBL) antara rumah sakit satu dengan yang lainnya tidak<br />harus sama materi muatannya, hal tersebut tergantung pada: sejarahnya, pendiriannya,<br />kepemilikannya, situasi dan kondisi yang ada pada rumah sakit tersebut. Namun demikian<br />peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti<br />Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang.<br />Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor<br />23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.<br />K. MONITORING DAN EVALUASI<br />1. Standar pelayanan minimal ini wajib dilaksanakan oleh Rumah Sakit<br />Kabupaten/Kota.<br />2. Untuk pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi, dapat dilakukan oleh<br />Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, Bupati/Walikota, DPRD, Gubernur.<br />3. Pembinaan oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pelayanan<br />Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.<br />4. Evaluasi internal dilakukan oleh Komite Medik dalam mutu pelayanan Rumah Sakit.<br />5. Monitoring dan Evaluasi oleh Tim Akreditasi Rumah Sakit wilayah setempat dan<br />Dinas Kesehatan Propinsi dilakukan secara berkala.<br />L. PENUTUP<br />1. Rumah Sakit Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan fungsinya diharapkan dapat<br />menjalankan pelayanan yang terjangkau dan merata, serta mengutamakan<br />kepedulian kepada masyarakat yang tidak mampu.<br />2. Pedoman ini disusun dan diterbitkan sebagai acuan Rumah Sakit Kabupaten/Kota,<br />dalam melaksanakan kewenangan minimal yang wajib dilaksanakan sesuai dengan<br />otonomi bidang kesehatan.<br />3. Pedoman ini dibuat secara garis besar, selanjutnya mengenai jenis pelayanan<br />maupun standar secara detail disusun oleh rumah sakit dengan mempertimbangkan<br />kemampuan rumah sakit dan daerah setempat, ditetapkan oleh Propinsi masing-<br />masing.<br />MENTERI KESEHATAN<br />ttd<br />Dr. ACHMAD SUJUDIBerita_Rantauhttp://www.blogger.com/profile/02411546055443591955noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8856261156058892581.post-88614123893911699332009-12-12T02:19:00.000-08:002009-12-12T02:20:58.230-08:00MANAJEMEN PELAYANAN MEDIK DI RUMAH SAKITDi kutip dari, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/09/manajemen_pelayanan_medik_di_rs.pdf.<br /><br />Page 1<br />1<br />MANAJEMEN PELAYANAN MEDIK DI RUMAH SAKIT<br />Henni Djuhaeni<br />I. Pendahuluan<br />Pelayanan medik khususnya medik spesialistik merupakan salah satu Ciri<br />dari Rumah Sakit yang membedakan antara Rumah Sakit dengan fasilitas<br />pelayanan lainnya. Kontribusi pelayanan medik pada pelayanan di Rumah Sakit<br />cukup besar dan menentukan ditinjau dari berbagai aspek, antara lain aspek jenis<br />pelayanan, aspek keuangan, pemasaran, etika dan hukum maupun administrasi<br />dan manajemen Rumah Sakit itu sendiri.<br />Bukan rahasia lagi pengaturan pelayanan medik khususnya medik<br />spesialistik sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala; tenaga spesialis<br />masih kurang dan belum merata di berbagai daerah di Indonesia, ketidak-<br />seimbangan tenaga medik dan sarana dan prasarana alat kesehatan antara Rumah<br />Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta, berbagai peraturan yang belum<br />dilaksanakan dengan baik, perilaku dokter sebagai tenaga medis dan lain-lain<br />yang pada akhirnya sangat mempengaruhi kualitas pelayanan medik di Rumah<br />Sakit. Adanya krisis moneter yang saat ini melanda Negara Kita, pembiayaan<br />kesehatan makin meningkat, sedangkan daya beli masyarakat makin menurun<br />cukup mempengaruhi pelayanan Rumah Sakit khususnya pelayanan medik.<br />Namun demikian keadaan ini jangan dijadikan alasan untuk menurunkan mutu<br />pelayanan medik, kita harus tetap berpegang pada profesionalisme dan etika<br />profesi. Apalagi saat ini telah terjadi reformasi di bidang kesehatan dimana<br />profesionalisme merupakan salah satu strategi untuk mencapai visi Departemen<br />Kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010. Di lain pihak saat ini Rumah Sakit<br />menghadapi era globalisasi dengan persaingan dari pihak Penanam Modal Asing<br />yang lebih unggul baik dari segi sumber daya manusia (SDM), sarana dan<br />prasarana maupun keuangannya.<br />Page 2<br />2<br />II. Batasan<br />Tenaga Medik : - Menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medik termasuk tenaga<br />kesehatan<br />- Menurut Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan<br />tenaga medis adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau<br />Kedokteran Gigi dan "Pascasarjana" yang memberikan<br />pelayanan medik dan penunjang medik.<br />Pelayanan medik di Rumah Sakit : adalah salah satu jenis pelayanan Rumah<br />Sakit yang diberikan oleh tenaga medik.<br />Manajemen Pelayanan Medik di Rumah Sakit secara sederhana : adalah<br />suatu pengelolaan yang meliputi perencanaan berbagai sumber daya medik<br />dengan mengorganisir serta menggerakkan sumber daya tersebut diikuti dengan<br />evaluasi dan kontrol yang baik, sehingga dihasilkan suatu pelayanan medik yang<br />merupakan bagian dari sistem pelayanan di Rumah Sakit.<br />III. Pelayanan Medik sebagai Suatu Sistem<br />Dengan pendekatan sistem pelayanan medik terdiri dari beberapa komponen<br />yaitu :<br />A. Komponen INPUT yang terdiri dari :<br />a. Tenaga medik yaitu dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis.<br />Perhitungan kebutuhan tenaga medik Rumah Sakit dapat melalui berbagai<br />cara antara lain : Peraturan Menkes 262/1979, Indikator Staff Needs (ISN)<br />dan standar minimal.<br />b. Organisasi dan Tata Laksana<br />Struktur organisasi yang berlaku saat ini mengacu kepada SK Menkes 983/<br />1992, namun pada pelaksanaannya banyak mengalami hambatan karena<br />SDM yang ada belum memenuhi kualifikasi yang ditentukan. Dalam SK<br />Menkes 983, kedudukan tenaga medik ada pada :<br />- Staf Medik Fungsional yang dikoordinasi oleh kepala SMF yang<br />dipilih dan bertanggung jawab kepada Direktur Rumah Sakit.<br />Page 3<br />3<br />- Komite Medik yang bertugas membantu memonitor dan mengembang-<br />kan SMF ditinjau dari aspek teknis medis termasuk hukum dan etika<br />profesi maupun etika Rumah Sakit.<br />Untuk lebih jelasnya tentang komite medik ini menurut Departemen<br />Kesehatan sesuai dengan surat keputusan Dirjen Pelayanan Medik No.<br />HK 00.06.2.3.730 Juli 1995 (terlampir).<br />- Wakil Direktur (Wadir) Pelayanan (Rumah Sakit Kelas B), Seksi<br />pelayanan (Kelas C & D) yang mengelola sistem pelayanan medik<br />sehingga dihasilkan suatu pelayanan medik yang bermutu sesuai<br />dengan visi dan misi Rumah Sakit.<br />Sesuai dengan Pasal 29 Permenkes 983/1992.<br />Tugas Wadir pelayanan sekurang-kurangnya meliputi pelayanan rawat jalan,<br />rawat inap, rawat darurat, bedah sentral, perawatan intensif,<br />radiologi, farmasi, gizi, rehabilitasi medis, patologi klinis, pato-<br />logi anatomi, pemulasaraan jenazah, pemeliharaan sarana<br />Rumah Sakit dan kegiatan bidang pelayanan, keperawatan serta<br />urusan ketatausahaan dan kerumahtanggaan.<br />Tugas bidang pelayanan mengkoordinasikan semua kebutuhan pelayanan<br />medis, penunjang medis, melaksanakan pemantauan dan<br />pengawasan penggunaan fasilitas serta kegiatan pelayanan<br />medis dan penunjang medis, pengawasan dan pengendalian<br />penerimaan dan pemulangan pasien. Tugas ini juga dilaksana-<br />kan oleh seksi pelayanan pada Rumah Sakit Kelas C.<br />c. Kebijakan Direktur<br />Tentang pelayanan medik di Rumah Sakit termasuk hak dan kewajiban<br />pasien, hak dan kewajiban petugas medik dan peraturan-peraturan lainnya.<br />d. Sarana dan Prasarana Pelayanan Medik<br />yang meliputi : - Gedung rawat jalan, rawat inap, ruang bedah, UGD,<br />penunjang medik radiologi, laboratorium, gizi dan lain-<br />Page 4<br />4<br />lain yang harus memenuhi syarat sesuai dengan arsitektur<br />Rumah Sakit yang berlaku.<br />- Sarana dan prasarana alat kesehatan sederhana maupun<br />canggih untuk terlaksananya pelayanan medik yang<br />bermutu.<br />e. Dana<br />Ada beberapa sumber dana yang dapat digunakan untuk terselenggaranya<br />pelayanan medik, antara lain : - Pendapatan Asli Rumah Sakit<br />- APBN (Depkes)<br />- APBN (Depdagri)<br />- APBD Tingkat I<br />- APBD Tingkat II<br />- Banpres<br />- Asuransi<br />- Kontraktor<br />- Subsidi<br />- dll.<br />Dana tersebut digunakan untuk :<br />l. Investasi peralatan medik yang diperlukan sesuai dengan jenis pelayanan<br />yang diberikan.<br />2. Operasional yang terdiri dari :<br />- Jasa pelayanan medis yaitu jasa yang diberikan kepada petugas<br />kesehatan (mediss, paramedis maupun non-medis) atas pelayanan<br />yang diberikan.<br />- Jasa Rumah Sakit yaitu jasa yang digunakan untuk operasional dan<br />pemeliharaan Rumah Sakit sehingga dapat memberikan pelayanan.<br />- Bahan habis pakai yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk<br />terselenggaranya suatu kegiatan pelayanan kepada pasien.<br />Ketiga komponen operasional tersebut tercermin pada tarif Rumah Sakit.<br />Page 5<br />5<br />f. Pasien/klien<br />Dilihat dari status sosio-ekonomi dan budaya masyarakat pasien dapat<br />digolongkan pada pasien tingkat menengah ke atas dan tingkat menengah<br />ke bawah. Pada perencanaan suatu Rumah Sakit perlu memperhitungkan<br />status pasien yang akan menjadi pangsa pasar Rumah Sakit sesuai dengan<br />visi dan misi Rumah Sakit. Dari 200 juta penduduk Indonesia, + 27 juta<br />masih termasuk penduduk miskin yang perlu perhatian dan bantuan sesuai<br />dengan fungsi sosial Rumah Sakit. Untuk itu Peraturan Menkes No. 378/<br />1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta telah<br />mengatur fungsi sosial Rumah Sakit dimana tempat tidur Kelas III bagi<br />Rumah Sakit Swasta/BUMN milik Yayasan adalah 25% dari jumlah<br />tempat tidur yang ada. Sedangkan bagi Pemodal Dalam Negeri (PMDN)<br />dan Pemilik Modal Asing (PMA) adalah 10% karena dikenakan pajak.<br />Namun demikian jumlah tempat tidur tersebut bukan satu-satunya fungsi<br />sosial Rumah Sakit Swasta karena dapat berupa yang lain misalnya<br />Balkesmas, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan. Dengan demikian diharap-<br />kan kontribusi swasta/BUMN terhadap peningkatan derajat kesehatan<br />masyarakat khususnya masyarakat miskin melalui pelayanan kesehatan di<br />Rumah Sakit mempunyai daya ungkit yang cukup besar.<br />B. Komponen Proses<br />Menggambarkan MANAJEMEN PELAYANAN MEDIS.<br />Secara sederhana terdiri dari :<br />a. Perencanaan<br />- Tenaga yang dibutuhkan sesuai dengan jenis pelayanan yang diberi-<br />kan, beban kerja yang ada dengan memperhitungkan kecenderungan<br />(TREND) pada masa yang akan datang.<br />- Sumber daya lain yang dibutuhkan untuk terselenggaranya suatu<br />pelayanan medis.<br />- Kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan sasaran yang diharap-<br />kan dengan memperhitungkan sumber daya potensial yang ada<br />Page 6<br />6<br />maupun kendala yang mungkin terjadi. Berdasarkan "waktu" maka<br />perencanaan kegiatan dapat harian, mingguan, bulanan, tahunan dan<br />jangka panjang sesuai dengan visi dan misi Rumah Sakit Dalam<br />perencanaan kegiatan alangkah baiknya apabila Rumah Sakit<br />mempunyai skala prioritas dan mempunyai projek unggulan.<br />b. Pengorganisasian<br />Seperti telah dibicarakan pada bab sebelumnya, tenaga medik ini<br />diorganisir melalui staf medik fungsional dari komite medik, sedangkan<br />pengelolaan pelayanan medik di bawah Wadir Pelayanan Medik. Sesuai<br />dengan ketentuan Depkes dan akreditasi Rumah Sakit bahwa Wadir<br />Pelayanan Medik harus seorang dokter (umum/spesialis), ketua SMF<br />adalah seorang dokter spesialis (bila memungkinkan), sedangkan ketua<br />komite medik dipilih dari ketua SMF yang ada dan bertanggung jawab<br />kepada Direktur Rumah Sakit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada<br />contoh bagan organisasi Rumah Sakit Umum Kelas C berdasarkan SK<br />Menkes 983/1992 di halaman berikut.<br />Page 7<br />7<br />BAGAN ORGANISASI RUMAH SAKIT UMUM KELAS C<br />DIREKTUR<br />INSTALASI<br />1<br />2<br />8<br />9<br />SMF<br />SMF : Staf Medis Fungsional<br />SEKSI<br />KEPERAWATAN<br />SEKSI<br />PELAYANAN<br />KOMITE<br />MEDIS<br />SUBBAG<br />KESEKRETARIATAN<br />& REKAM MEDIS<br />SUBBAG<br />KEUANGAN<br />DAN PROGRAM<br />Page 8<br />8<br />c. Penggerakan<br />Kondisi saat ini, kegiatan inilah yang paling sulit dilakukan karena<br />beberapa dilema. Di lain pihak kebutuhan akan tenaga dokter spesialis<br />khususnya bagi Rumah Sakit Swasta cukup tinggi karena tidak<br />mempunyai tenaga dokter tetap di lain pihak citra Rumah Sakit<br />Pemerintah menurun karena dokternya lebih mengutamakan Swasta se-<br />hingga SK Meskes 415a/1984 belum dapat berjalan dengan baik. Selain<br />itu cukup sulit untuk memotivasi mereka karena keterbatasan Rumah Sakit<br />Pemerintah dan tuntutan kebutuhan dokter spesialis sendiri.<br />d. Pelaksanaan pelayanan medis<br />Ada beberapa hal penting yang mendasari pelayanan medis agar dihasilkan<br />suatu pelayanan yang optimal yaitu :<br />- Falsafah dan tujuan<br />Pelayanan medis yang diberikan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan<br />kedokteran mutakhir serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas<br />Rumah Sakit secara optimal. Tujuan pelayanan medis adalah<br />mengupayakan kesembuhan pasien secara optimal melalui prosedur dan<br />tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar<br />masing-masing profesi.<br />- Administrasi dan pengelolaan<br />Wadir pelayanan medis/seksi pelayanan medis ditetapkan sebagai<br />ADMINISTRATOR yang mempunyai fungsi antara lain :<br />• Membuat kebijakan dan melaksanakannya.<br />• Mengintegrasi, merencanakan dan mengkoordinasi pelayanan.<br />• Melaksanakan pengembangan DIKLAT<br />• Melakukan pengawasan termasuk medikolegal<br />- Staf dan pimpinan<br />Penetapan staf dan hak/kewajibannya ditentukan oleh pejabat yang<br />berwenang, dengan prinsip seleksi : dapat memberikan pelayanan<br />Page 9<br />9<br />profesional, sesuai kebutuhan Rumah Sakit dan masyarakat serta ada<br />rekomendasi profesi.<br />- Fasilitas dan peralatan<br />Tersedia fasilitas pelayanan yang cukup sehingga tujuan pelayanan<br />efektif tercapai, misalnya ruang pertemuan staf medis, fasilitas untuk<br />berkomunikasi, tenaga, administrasi untuk pencatatan kegiatan medis.<br />- Kebijakan dan prosedur<br />Perlu dibuat kebijakan dan prosedur klinis maupun nonmedis sesuai<br />dengan standar yang ada.<br />- Pengembangan staf dan program pendidikan<br />Hal ini diperlukan untuk peningkatan mutu pelayanan medis.<br />- Evaluasi dan pengendalian mutu<br />Ada program pengendalian mutu yang menilai konsep, hasil kerja dan<br />proses pelayanan medis.<br />Dilaksanakan oleh Komite medis.<br />Ketujuh kriteria di atas merupakan point penting dalam penilaian<br />akreditasi Rumah Sakit di samping administrasi dan manajemen,<br />manajemen keperawatan, unit gawat darurat serta rekam medik.<br />e. Pengawasan dan pengendalian<br />Ada dua macam yaitu :<br />- Pengawasan pelaksanaan pelayanan termasuk medikolegal oleh wadir/<br />seksi pelayanan.<br />- Pengawasan teknis medis oleh komite medis<br />Keduanya bertanggung jawab kepada Direktur Rumah Sakit.<br />Pengawasan ini harus secara periodik dan kontinyu dilakukan baik<br />dengan audit medis/audit manajemen maupun dengan upaya-upaya<br />peningkatan mutu yang lain, namun tetap dengan prinsip : "penelaahan<br />bersama tentang suatu kejadian/kegiatan pelayanan medis dan bukan<br />Page 10<br />10<br />mencari siapa yang salah, kemudian mencari solusi tindak lanjut<br />sehingga kejadian yang sama tidak terulang lagi.<br />C. OUTPUT<br />Tentu saja out put yang diharapkan adalah pelayanan medis yang bermutu,<br />terjangkau oleh masyarakat luas dengan berdasarkan etika profesi dan etika<br />Rumah Sakit. Dengan demikian beberapa tolok ukur keberhasilan pelayanan<br />di Rumah Sakit seperti angka kematian di Rumah Sakit, kejadian infeksi<br />nosokomial, kepuasan pasien, waktu tunggu dan lain-lain akan berubah yaitu<br />angka kematian rendah, kejadian infeksi nosokomial rendah, kepuasan pasien<br />meningkat, waktu tunggu pendek. Keadaan ini akan meningkatkan CITRA<br />Rumah Sakit yang merupakan pemasaran Rumah Sakit.<br />D. FAKTOR yang mempengaruhi<br />Ada beberapa faktor yang mempengaruhi :<br />a. Pemilik Rumah Sakit (Pemerintah Pusat, PEMDA, Yayasan, PT, PMA dll)<br />Missi dan dukungan pemilik sangat menentukan keberhasilan pelayanan<br />medik.<br />b. Depkes<br />Peraturan dan kebijakan dengan sanksi yang tegas akan meningkatkan<br />sistem pelayanan medis di Rumah Sakit.<br />c. IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)<br />Kemajuan IPTEK harus diikuti sesuai falsafah Rumah Sakit yaitu<br />memberikan pelayanan sesuai IPTEK kedokteran yang mutakhir.<br />Tercantum dalam GBHN 1993 dan PELITA VI kesehatan bahwa tujuan<br />pembangunan adalah meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia),<br />sehingga IPTEK menjadi sangat penting apalagi bila kita tidak ingin<br />ketinggalan dalam menghadapi era globalisasi tahun 2003 nanti.<br />d. Sosio-ekonomi-budaya masyarakat<br />Untuk lebih jelasnya sistem pelayanan medis seperti tampak pada bagan di<br />bawah ini.<br />Page 11<br />11<br />PELAYANAN MEDIS SEBAGAI SUATU SISTEM<br />FAKTOR YANG MEMPENGARUHI<br />1. Pemilik<br />3. IPTEK<br />2. DEPKES<br />4. Sosio-ekonomi-budaya-masyarakat<br />INPUT<br />PROSES<br />OUTPUT<br />1. Tenaga medis<br />2. Organisasi &<br />Tata laksana<br />3. Kebijakan Direktur<br />4. Sarana & Prasarana<br />5. Dana<br />1. Perencanaan<br />2. Pengorganisasian<br />3. Penggerakan<br />4. Pengawasan &<br />pengendalian<br />Pelayanan<br />medik yang<br />bermutu<br />Evaluasi<br />IV. MASALAH-MASALAH YANG TIMBUL DALAM MANAJEMEN<br />PELAYANAN MEDIK<br />Masalah-masalah yang timbul antara lain :<br />1. Tenaga, khususnya tenaga medis spesialis masih kurang dan tidak merata<br />(di Pulau Jawa lebih banyak dibanding daerah lain).<br />2. Belum semua Rumah Sakit menerapkan/mengacu kepada struktur<br />organisasi 983/1992 karena keterbatasan kualifikasi tenaga yang ada.<br />3. Fasilitas yang belum sesuai dengan standar.<br />4. Kecenderungan untuk memiliki alat canggih tanpa memperhitungkan<br />efisiensi dan efektivitas.<br />5. Sikap dan perilaku tenaga medis yang kurang mendukung sistem<br />pelayanan medis maupun Rumah Sakit sebagai suatu sistem.<br />6. Sikap dan perilaku pimpinan Rumah Sakit yang kurang tegas dalam<br />pelaksanaan pelayanan medis.<br />Page 12<br />12<br />V. UPAYA PEMECAHAN MASALAH<br />1. Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) bagi daerah-daerah yang<br />sangat memerlukan dan tidak ada Fakultas Kedokteran.<br />2. Rumah Sakit Swasta sebaiknya merekrut dokter pasca PTT dan<br />menyekolahkannya sehingga menuju kemandirian swasta dalam aspek<br />tenaga.<br />3. Adanya program kerjasama antar Rumah Sakit namun tanpa melanggar<br />Keputusan Menkes 415a/1984 baik bagi "provider" maupun Rumah Sakit<br />sendiri.<br />4. Perencanaan peralatan secara bertahap perlu ditingkatkan dengan<br />memperhitungkan skala prioritas dan projek unggulan, tidak perlu<br />seluruhnya membeli tetapi dengan sistem kerja sama ataupun sewa.<br />5. Komunikasi, koordinasi, integrasi dengan unit lain di Rumah Sakit<br />ditingkatkan. Unit lain sebagai "MITRA". Sehingga pelayanan medik dan<br />Rumah Sakit sebagai suatu sistem dapat berlangsung dengan optimal.<br />6. Menempatkan tenaga medis sesuai dengan peran, tugas dan fungsinya.<br />7. Pimpinan Rumah Sakit harus mempunyai sikap yang tegas dalam<br />mengayomi, mengawasi dan mengendalikan pelayanan medis Rumah<br />Sakit.<br />VI. KESIMPULAN DAN SARAN<br />Kesimpulan : Pelayanan medis khususnya medis spesialis merupakan salah<br />satu inti dan ciri khas pelayanan Rumah Sakit.<br />Di dalam pelaksanaannya masih ditemukan berbagai kendala<br />sehingga perlu dilakukan berbagai upaya pemecahan masalah<br />dengan mengikutsertakan semua pihak yang terkait dan sikap<br />tegas seorang pimpinan Rumah Sakit.<br />Saran : - Rumah Sakit harus mempunyai visi untuk kemandirian Rumah<br />Sakit dalam aspek ketenagaan khususnya tenaga medis spesialis.<br />- Pelaksanaan Rumah Sakit sebagai suatu sistem dan keinginan<br />yang transparan dari berbagai pihak Rumah Sakit agaknya<br />Page 13<br />13<br />merupakan salah satu cara yang tepat untuk penyelesaian<br />masalah yang ada.<br />DAFTAR PUSTAKA<br />- Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendidikan Dirjen Yanmed Depkes RI,<br />Standar Pelayanan Rumah Sakit cetakan ketiga, Jakarta 1994.<br />- Dirjen Yanmed, Pembentukan dan Tata Kerja Komite Medik Rumah Sakit,<br />Jakarta Juli 1995.<br />- Djuhaeni. H, Manajemen Pelayanan Medik dan Keperawatan, Hospital<br />Management Training PERSI 1993.<br />- MC Gibony, Principles of Hospital Administration Pittsburgh, 1969.<br />- Taurany M.H., Pendekatan Sistem dalam Manajemen Rumah Sakit. Dalam :<br />Taurany M.H. kumpulan materi kuliah KMA 600, FKM - UI, Depok 1989.Berita_Rantauhttp://www.blogger.com/profile/02411546055443591955noreply@blogger.com1